1.7.12

Pejalan Tangguh


“Saya pernah jalan kaki ke Jakarta” ujar Juliarna tentang pengalamannya berjalan kaki dari Kampung Cibeo, Baduy Dalam ke Jakarta. “Yang bener!?” tanya aku heran. Terang saja jarak antara Kampung Cibeo dan Jakarta bukan hal umum untuk dilakukan dengan perjalanan tanpa kendaraan alias jalan kaki.

Bedanya jalan dengan orang Baduy

Wanita pun berjalan pula

Armani, mengaku pernah berjalan kaki ke Jakarta































































Persis sama dengan pengalaman Juliarna, Armani pun begitu. Pagi di Kampung Cibeo sangat cerah. Udara pagi cukup dingin, sehingga aku memakai jaket tebal. Aku duduk di teras rumah Sapri. Bercengkrama dengan Armani, putra Sapri. “Saya sudah ke Citra Gran, Cibubur, dengan jalan kaki” kenang Armani. “Oh ya?!” timpalku. Yang ini memang mulai percaya, sejak apa yang diceritakan Juliarna bahwa ia pun sudah ke Jakarta dengan berjalan kaki.

“Ke (rumah) siapa?” tanyaku.

“Ke temen

“Berapa hari jalan dari sini (Cibeo)?”

“Tiga hari”

Trus selama perjalanan tiga hari nginep di mana (untuk istirahat)?”

“Ya... di mana saja, bisa di mushola”

Trus kalo diajak jalan-jalan sama temennya (yang dikunjungi), mau naik kendaran? Misal mau diajak ke Taman Mini (TMII) gimana?”

“Oh tidak. Kami tetep jalan. Kami tak boleh naik kendaraan. Saya pernah diajak ke Taman Mini, ya jalan kaki, nanti pas di lampu-merah kami ditunjukin harus jalan ke arah mana”.

Mungkin ini bukan hal yang umum bagi kebanyakan orang, berjalan kaki menempuh bermil-mil jauhnya tanpa alas kaki, namun bagi Suku Baduy Dalam, hal ini sudah biasa. Aturan adat yang melarang orang Baduy menaiki kendaraan membuat mereka berjalan kaki untuk segala kegiatan mobilitasnya.

Orang Baduy selalu melakukan kunjungan balasan kepada para wisatawan/pengunjung, hanya sekedar untuk bersilaturrahmi. Gani yang telah berkunjung ke Baduy lima kali, maka mendapat kunjungan balasan dari orang Baduy sebanyak lima kali pula.
    
Setelah sarapan usai, kami berpamitan pada tuan rumah, Sapri. Track yang kami lalui saat pulang berbeda dengan track kemarin saat kami datang. Kali ini kami melewati beberapa kampung Baduy. Banyak hal yang kami temui di track ini. Mulai dari lumbung-lumbung padi Baduy Dalam, saungnya Juliarna di lahan bercocok tanamnya yang baru dibangun, hingga kampung Gajeboh, melewati beberapa sungai, bahkan binatang melata si kaki seribu juga kami temui dijalan.

Istirahat di teras salah satu rumah Baduy Luar

Perempuan Baduy Luar yang sedang mencuci di sungai  Kampung Gajeboh

Si Kaki Seribu











































Jika kami membutuhkan waktu untuk tracking ke Ciboleger dalam empat jam, maka suku baduy Dalam bisa satu hingga satu-setengah jam. Hebat!

Jika diperhatikan, perkampungan Baduy tak jauh-jauh dari sungai. Antara lain Kampung Cibeo dan Kampung Gajeboh juga dekat dengan sungai. Entahlah kenapa bisa begini.

Di kampung-kampung Baduy yang kami lewati selalu ada teko logam dan beberapa gelas diteras rumah. Berisi air minum. Tadinya aku pikir minuman itu tidak diperuntukan untuk orang lain. Namun melihat Juliarna dan Armani mengambil minuman itu dan segera meminumnya, dan tak ada teguran atas minuman itu dari sang empunya rumah. Rupanya Orang Baduy memang sengaja menyediakan air di dalam teko dan gelas diteras rumahnya, memang disediakan bagi siapa saja (wisatawan/pengunjung) yang jalan.

Menikmati minuman yang disediakan oleh Warga Baduy
















Begitu pula di Kampung Gajeboh. Bahkan ini agak istimewa. Minuman jahe dan gula kelapa sengaja disediakan diatas bambu yang telah dilebarkan. Mereka sengaja menyediakannya bagi wisatawan/pengunjung.

Itulah Baduy, ramah, bersahabat, dan bersahaja, juga pejalan tangguh.


Tidak ada komentar: