27.1.12

Photograph: Play with Low Speed

Memang tak dipungkiri untuk mengabadikan aliran air di sungai atau pun air terjun, sudah lazim di kalangan fotografer menggunakan setting-an low speed. Dengan bermain shutter speed pada range 1/4 atau 1/5, sehingga foto aliran air terkesan bagai kapas.

Tak hanya untuk momen itu saja setting-an shutter speed digunakan. Pada momen lain pun bisa diterapkan, seperti gerakan sayap kupu-kupu, kegiatan fun game, dan lalu lalang orang-orang.

Wanawisata Curug Cilember, Cisarua, Bogor merupakan tempat aku bereksperimen dengan shutter speed rendah. Dan hasilnya, it’s amazing (muji sendiri).











26.1.12

Dapat Liburan Ke Cilember Gratis dari ARA (2)

Pagi menjelang. Udara gunung di pagi hari memang dingin. Untungnya di anglo masih ada bara, kemudian Niko menambahkan arang dan mengipasinya supaya arang yang masih hitam membara. Setelah itu dia menyerahkan kepada aku dan Yanti. Lumayan buat menghangatkan tangan yang kedinginan.

Setelah sarapan dengan nasi bungkus yang telah disediakan oleh ARA, para peserta menikmati acaranya sendiri. Mereka membuat game sendiri. Eits... bukan berarti ARA lepas tangan lho... ini atas permintaan mereka, bahwa acara game yang kami pandu hanya di hari pertama saja. Tampak juga para pemenangnya dalam game mereka mendapatkan hadiah yang lucu, seperti kaos.

Game mencari jepitan jemuran dengan mata tertutup pada pasangannya.

Pemenangnya dapat hadiah kaos.





























Acara berikutnya adalah mengunjungi Curug 7 dan melihat aneka kupu-kupu di  Taman Konservasi Kupu-kupu. Untuk mencapai ke Curug 7 kami harus turun melalui warung-warung di sekitar. Dari kubah dengan kawat kasa yang merupakan Taman Konservasi Kupu-kupu kami harus melintasi jembatan. Disini ada dua jembatan, jembatan biasa dengan bahan beton dan yang satunya jembatan gantung, sehingga akan terasa bergoyang ketika melewatinya.

Dari situ kita akan mendaki beberapa anak tangga lagi. Untuk mencapai curug 7, jaraknya tak sejauh dibandingkan menuju ke Curug 5. Di kanan-kiri tampak penginapan yang terbuat dari kayu. Juga ada penyewaan tenda yang besar, cocok untuk acara keluarga.

Curug 7 memiliki karakteristik yang berbeda dengan Curug 5. Jika di Curug 5 ada pohon di bawah curug maka di Curug 7 tak ada sama sekali. Bahkan aliran air terlihat jelas dari atas hingga bawah karena tak ada pohon yang merintangi ke tengah curug. Di Curug 7 terdapat dua air terjun berdampingan, sedangkan di Curug 5 hanya satu.
Karena posisinya yang dekat, maka curug ini ramai dikunjungi wisatawan, apalagi pas weekend seperti ini. Persis berhadapan dengan curug terdapat penginapan yang asri, dengan rumah panggung terbuat dari kayu.

Melewati jembatan gantung yang bikin bergoyang.

Penyewaan tenda, di sisi jalan menuju Curug 7

Penginapan yang asri di sisi  jalan menuju
Curug 7

Penginapan lainnya yang menghadap langsung Curug 7.

Curug 7 memiliki dua air terjun.





















































































Puas menikmati sejuknya titik-titik air dari hembusan angin curug, dan puas mengabadikan keindahan aliran air dengan kamera, aku langsung turun ke bawah ketempat disekitar Taman Konservasi Kupu-kupu. Aku melewati jalan lain, jalanannya agak datar berbatu dan tertata rapih, plus sepi pejalan, karena memang bukan jalan utama menuju Curug 7. Aku menunggu beberapa saat didepan kubah itu, karena petugas belum membuka taman insecta indah itu.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya taman itu dibuka. Setelah membeli tiket masuk seharga Rp. 6.000,- dan lensa kamera diganti dengan lensa tele aku masuk. Menakjubkan beberapa insecta dengan warna yang membuat mata termanjakan terbang dengan indahnya. Bahkan sesekali melihat aktifitas mereka yang sedang mengambil nektar bunga, ada juga yang sedang menikmati air yang diberi petugas di atas piring, denga bunga-bunga. Yang sangat amazing, adalah aku bisa menyaksikan proses alami daur hidup kupu-kupu, metamorfosis, yes “jackpot!”. Di sebuah bangunan kecil beratap, ada seekor kupu-kupu spesies Throides helena, sedang keluar dari kepompongnya. Kupu-kupu ini memiliki ciri-ciri dengan didominasi warna hitam, dengan sayap bagian bawah berwarna kuning. Aku merekam momen indah nan langka itu dengan video handphone-ku. Pegel juga ternyata. Untuk keluar dari cangkang kepompong itu, membutuhkan proses yang lama juga untuk benar-benar keluar. Aku hany mampu merekam 8:33 menit.

Taman Konservasi Kupu-kupu yang berbentuk kubah.

Salah satu koleksi serangga Taman Konservasi Kupu-kupu. 






























Metamorfosis, Throides helena berusaha keluar dari kepompong.















Keluar kubah insecta indah itu aku bertemu dengan Rantip yang duduk dengan muka datar, dengan ekspresi persis seperti ‘anak ilang’. Dia memang sedang menunggu Heru, yang katanya akan mengambil menu makan siang. Sesekali dia juga mengamati aktifitas wisatawan yang berkunjung. Dia fokus ke tiga orang anak yang sedang bermain bola. “Keluarga Ahmed sedang bermain bola dengan Keluarga Asep” katanya sambil menunjukan anak keturunan Arab (Timur Tengah) bermain bersama anak Sunda. Secara di Puncak kan memang banyak keluarga keturunan Arab atau Timur Tengah. Lalu lalang orang-orang dengan wajah Timur Tengah memang tak aneh di sini.

Yang paling membuatku kagum adalah banyak orang-orang pribumi mahir berbahasa Arab, bahkan untuk anak yang seumuran SD. Mereka siap memandu warga keturunan Arab tersebut dengan bahasa Arab yang fasih.

'Keluarga Ahmed' sebutan Rantip merujuk pada warga Arab di Puncak.















Kembali ke tenda. Para peserta mulai beres-beres barang mereka. Setelah itu makan siang datang. Kami makan siang bersama. Setelah semua selesai, mereka sengaja kami wajibkan untuk tak membuang sampah sembarangan, dan sampah yang ada dimohon untuk dikumpulkan di kantong atau tempat sampah yang tersedia di sana. Kita wajib menjaga kebersihan tempat yang telah kita jelajahi demi kelangsungan keindahan tempat tersebut.

Kami saling bersalaman. Bersayonara, berpisah meninggalkan cerita ceria bermalam di Cilember.

Sayonara semuanya.















Setelah mereka semua pulang termasuk Yanti yang mengantarkan mereka, ikut serta dalam rombongan tersebut. Kami membereskan tenda. Satu per satu tenda kami rapihkan kembali. Walaupun sempat hujan turun, namun kemudian matahari segera nongol kembali, sehingga tak mengganggu acara beres-beres tersebut. Beberapa sampah yang masih berserakan kami kumpulkan.

Masing-masing dari kami membawa properti tersebut ke mobil di parkiran depan pintu masuk Wanawisata Curug Cilember. Kami memasukan barang satu per satu kedalam bagasi mobil. Masih belum muat di bagasi, sebagian barang ditaruh di kursi belakangan, yang akan setia menemaniku di perjalanan. Sementara itu Niko menyelesaikan administrasi dengan pihak ticketing di pintu utama, juga penyelesaian segala urusan dengan si Ibu empunya warung.

Karena Rantip membawa motor, maka dia langsung meluncur ke Jakarta sedangkan kami harus ke basecamp YSI untuk mengembalikan tenda. Keluar dari jalan yang menuju Curug, kami disambut pemandangan biasa jalanan ala Puncak. Kendaraan yang menuju Jakarta macet karena sistem buka-tutup. Untungnya kami menuju ke arah yang berlawanan, dengan tujuan basecamp YSI Cibodas, jadi perjalanan lancar.

Sebelum masuk ke jalan Cibodas, kami melihat tenda yang menjual jaket dan pakaian hangat lainya. Tertulis jelas pada spanduk Bandung Sisa Ekspor (BSE). Mereka menjual produk fashion khususnya pakaian yang cocok buat kegiatan outdoor, yang tak lolos ekspor. Jelas dari segi harga memang miring banget, bahkan karena kami membeli secara borongan maka kami mendapat diskon 10%. Untuk ukuran kualitas menurutku masih bisa ‘ditolelir’. Karena lembaran berharga di dompetku tipis, maka aku hanya membeli celana hangat seharga Rp. 72.000,- satu biji saja, sudah termasuk diskon. Murah banget kan, padahal kalo nyari ditempat lain belum tentu nemu barang tersebut, plus belum tentu juga harganya murah.

Mborong jaket mumpung harganya miring.















Sampai di YSI rupanya basecamp rame banget. Tampak Keluarga Om Cepi dan Om Ao beristirahat di situ. Mereka sekeluarga trecking ke Curug Cibeureum tadi pagi. Dan kami berbincang-bincang santai di depan basecamp, sambil menikmati pemandangan aktifitas pejalan yang sedang menikmati liburan di Cibodas. Tak beberpa lama kemudian Tante Bayu menyuruh kami makan. Katanya Tante Gogot (istri Om Ao) telah membuat hidangan spesial, yakni Nasi Bakar dan Pindang Ikan, plus Sambal Jahannam*. Pertama Heru yang mengambil menu itu, bahkan saking enaknya dia pake acara nambah. Kemudian Niko mengikuti jejak Heru. Sebelum makan malam dengan menu tersebut, alangkah nikmatnya jika mandi dulu, pikirku. Setelah mandi dengan air pegunungan yang super duper dingin, aku menikmati Nasi Bakar, Pindang Ikan, Sambal Jahannam, plus tempe goreng. Nasi Bakarnya gurih tak ketulungan, Ikan Pindangnya maknyus banget, sedangkan Sambal Jahannamnya bikin lidah kebakaran yang panasnya terus melekat.

Nasi Bakar, saking enaknya ngambil fotonya jadi nge-blur.















Tadinya aku meminta pulang ke Jakarta setelah maghrib. Namun Tante Bayu terus melarangku pulang saat itu. Di Puncak masih macet, daripada cape-cape bermacet ria, lebih baik nginep disini, pulangnya besok pagi saja, katanya. Karena aku ada janji untuk jalan-jalan dengan temenku esoknya, maka Tante Bayu menyarankan pulangnya jam dua belas malam. Namun ku pikir daripada turun jam segitu dimana nantinya masih tak ada kendaraan dari Cibubur ke Cileungsi maka aku putuskan pulang jam tiga pagi. Awalnya Heru memintaku pulang pagi saja, setelah aku jelaskan kondisiku maka dia pun setuju untuk turun ke Jakarta di pagi buta.

Jam tiga pagi aku bangun kemudian aku bangunkan Niko dan Heru. Heru tampak malas membuka mata dan asyik dengan sleeping bag hangatnya. Namun diapun luluh juga. Setelah Niko berpamitan dengan Om Cepi (karena yang lainnya masih nyenyak tidur, dan tak mau mengganggu) akhirnya kami meluncur. Kami sempatkan pula menikmati kopi dan ubi bakar Cilembu yang hangat di salah satu kedai di kawasan Puncak. Menurut bapak penjual itu, macet baru terurai setelah pukul satu malam. Prediksi yang tidak melesat untuk kembali ke Jakarta dengan lancar, pikirku.


Special thanks to Niko, Heru, dan Rantip dari Akar Rumput Adventure (ARA), atas liburan gratisannya, menikmati tidur dalam tenda, belajar teknik fotografi dengan low speed, menyaksikan momen langka metamorfosis kupu-kupu, menikmati manisnya ubi bakar Cilembu, dapat diskon belanja,  juga kepada teman-teman dari Yayasan Survival Indonesia (YSI), Dawai, Emon, dan Hendra, keluarga Om Cepi dan Om Ao, atas hidangan Nasi Bakar yang sangat spesial,  dan sarannya sehingga terhindar dari macetnya jalanan Puncak, dan yang paling penting keakraban dari kawan-kawan ARA dan YSI.

*selengkapnya baca dipostingan sebelumnya ‘Pendakian Gunung Gede’

25.1.12

Dapat Liburan Ke Cilember Gratis dari ARA (1)

Lagi bingung-bingunnya mau ngisi libur long weekend mau ngapain, eh... dapat ajakan Camping di Wanawisata Curug Cilember, Cisarua, dari ARA (Akar Rumput Adventure). Gratis pula. Tinggal bawa badan dan perlengkapan pribadi saja. Ya sudah tanpa pikir panjang langsung setuju. Yah... itulah keuntungan jadi pelanggan setia sebuah travel agent, hehehe.....

Kalimat penyambutan dengan empat bahasa di
Pintu Masuk Wanawisata  Curug Cilember
















Jum’at malam masih leyeh-leyeh didepan TV. Tiba-tiba ada chat di BBM dari Niko. Pertama sih ngobrol biasa, tapi makin kesini malah diajak liburan ke Cilember. Dia merayu aku bahwa Curug Cilember bagus buat foto dengan teknik low speed, jadi nanti foto air terjunnya ada efek kayak kapas lembut. Yah... karena aku orangnya sangat tergila-gila dengan fotografi maka kena juga rayuannya. Walaupun dia juga mengatakan bahwa itu masuk acara ARA untuk outbond buat karyawan, katanya “Ga apa-apa kamu ikut”.

Karena ini memang liburan gratis makanya aku terserah mau ngapain disana. Secara kalau gratis nggak boleh complaint. Bahkan berstatus ‘anak bawang’ pun nggak apa-apa deh, yang penting liburan. Pokoknya pasrah aja.

Mereka inilah 'biang kerok' yang mengajak aku liburan gratisan
(Kiri ke kanan: Niko, Yanti, Heru)
















Aku lalu packing barang-barang pribadiku ke dalam ransel. Tak lupa membawa kamera kesayangku. Aku meluncur ke ARA di Ragunan. Tiba disana jam menunjukan pukul 21:40, beberapa aktifitas warga pun sudah berkurang, toko ARA sudah tutup, mana ada anjing hitam empat ekor dengan pandangan matanya yang tajam, dan membuat suasana makin horor. Aku kontak Niko, eh... dia lagi makan malam entah dimana, malah ngerjain aku dengan sengaja nyantai biar aku nunggunya lama. Dezig sisan....

Satu jam kemudian, sedan dengan plat nomor R datang. Kendaraan operasional ARA itu yang akan mengantarkan kami ke tempat tujuan. Rupanya di dalam mobil sudah ada Heru yang merupakan tim ARA di acara tersebut. Plus mobil tersebut penuh dengan barang-barang perlengkapan buat camping, seperti tenda, tikar, trangia, anglo, toa, tali-temali, sleeping bag, dll. Bahkan di kursi belakang pun masih ada barang-barang, dan hanya menyisakan space buat seorang saja.

Memang sengaja kami berangkat tengah malam ke Cibodas untuk menghindari macet di jalan yang menuju Bogor atau Puncak. Jalanan malam itu memang cukup lengang dan lancar. Kami menuju ke Basecamp Yayasan Survival Indonesia (YSI)* milik kang Heri Macan. Sekalian juga mau pinjam tenda, karena tenda yang ARA punya jumlahnya terbatas.

Kami disambut oleh Dawai, kemudian Emon dan Hendra. Tak lama kemudian keluarga Om Cepi* dan Om Ao datang satu mobil memakai mobil carry hijau. Wah... suasananya tambah seru aja walaupun tengah malam begini. Kami duduk-duduk ngobrol ngalor-ngidul dengan mereka, tak lama kemudian Tante Bayu (istri Om Cepi) membawakan kopi cappucino hangat untuk kami. Seruput secangkir cappucino memang sedikit mengusir dingin oleh angin gunung dari arah Gede-Pangrango, dimana di bulan-bulan ini memang cuacanya kurang bersahabat, bahkan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango pun ditutup untuk beberapa bulan ke depan. Keluarga Om Cepi dan Om Ao sengaja kesini karena akan menghabiskan libur panjang ke Curug Cibeureum. Kami juga meminjam tenda ke YSI untuk melengkapi kekurangan tenda. Kami diberikan tenda yang cukup untuk empat orang, plus tenda besar. Kami pun bermalam disini. Rencananya besok pagi sekitar pukul enam kami harus meluncur.

Bangun pagi ditemani dengan udara dan angin yang sangat dingin. Rupanya dinginnya pagi membuat pagi di Cibodas terasa berjalan lambat. Bahkan sepertinya warga yang tinggal di situ pun enggan memulai harinya. Masih asyik menutupi badan dibawah hangatnya selimut.

Sekitar pukul tujuh pagi kami bergegas menuju ke Cilember. Jalanan di sepanjang Cisarua memang lancar, hanya macet karena aktifitas pasar saja. Sekitar pukul 8:30-an kami sampai di Wanawisata Curug Cilember. Kami membawa barang-barang perlengkapan camping. Bahkan lolos dari pintu tiketing karena sudah booking beberapa hari lalu. Aku kebagian bawa tenda yang beratnya bikin ngos-ngosan dengan jalan menanjak di jalan yang berbatu tertata rapih ini. Rupanya traveling kali ini tak 100% gratis, alias ada embel-embelnya, seperti iklan promosi tarif murah operator telekomunikasi, “syarat dan ketentuan berlaku”. Hadeuh....

Kemudian kami singgah sebentar di sebuah warung. Warung ini telah dipesan untuk menyediakan snack, minuman hangat, dan kayu bakar untuk acara barbeque selama kami camping. Bahkan menyediakan jasa charge batre HP atau kamera. Kami ngopi dan sarapan dengan mie rebus.

Kami menuju ke Camping Ground Lembah Pakis. Hanya menaiki beberapa anak tangga yang berbatu tertata rapih. Di area camping yang sudah kami pesan, kami langsung mendirikan tenda. Camping ground ini seperti lembah (atau memang lembah). Kiri-kanan dan belakang berdiri tebing yang tinggi diselimuti hijaunya pepohonan. Camping ground berundak dan dengan rumput yang menghijau. Ditengah-tengah ada air kalen yang bening mengalir, mengeluarkan riak. Dan disudut ada kamar mandi plus toilet. Juga banyak sekali pohon pakis. Mungkin karena itulah camping ground ini dinamai Lembah Pakis.

Camping ground Lembah Pakis















Aku membantu mendirikan tenda. Membantu dan mengamati beberapa  teknik mendirikan tenda dari Heru dan Niko. Tak lama kemudian Niko menjemput peserta yang sudah sampai di gerbang Wanawisata Curug Cilember. Baru saja enam tenda dari delapan tenda yang harus kami dirikan, hujan turun. Padahal tadi  hanya mendung sedikit. Tak berapa lama kemudian hujan reda, dan matahari langsung menyinari, kami melanjutkan medirikan tenda. Lalu satu per satu pemuda-pemudi dengan kaos hitam yang seragam muncul. Rupanya itu peserta outbond-nya. Kemudian Yanti menghampiri kami dan kami jelaskan beberapa tenda belum terpasang. Yanti ini adalah semacam ‘makelar’ tour. Dia yang mencari orang-orang yang mau traveling kemudian ARA (Niko) yang akan siap menyelenggarakannya.

Bahkan ada beberapa tenda yang minta direvisi posisinya. Atas permintaan mereka, yang tadinya tenda agak ke bawah, kemudian di pindahkan ke area yang agak atas. Peserta berasal dari sebuah perusahaan di Jakarta, jelas di spanduk yang mereka bawa tertulis Harmoni Logistik Jakarta. Peserta tadinya berjumlah 28 orang, dan hanya 2 orang yang tak jadi ikut. Para peserta meletakan barang-barangnya di tenda yang mereka pilih, “satu tenda untuk empat orang” seru kami.

Setalah makan siang, istirahat sebentar, dan sholat dzuhur acara dilanjutkan dengan beberapa fun game. Kali ini di pandu oleh Lazuardi alias Rantip. Sebenarnya makhluk yang satu inilah yang bertanggung jawab atas terselenggaranya acara ini, namun karena ada tugas ke Bali maka persiapan teknis didelegasikan ke Niko. Dia baru saja datang dari Bali, dan langsung menuju ke Cilember. Sebelum fun game dimulai, Rantip tampak sibuk menyusun permainan yang akan diberikan kepada peserta. Dan pembagian tugas game mana yang harus dipegang oleh kami. Aku kebagian game spider web, Heru kebagian magic stick, Niko kebagian water toxic, Rantip sendiri memegang traffic jam sedangkan Yanti hanya pengamat saja. Aku tak tahu detail masing-masing game, karena ini juga pengalaman pertama kali aku memegang event outbond maka aku lebih fokus ke game yang akan aku pandu saja.

Sebelum fun game dimulai, Rantip mengumpulkan para peserta di area yang agak luas. Sementara itu aku diwajibkan memakai kaos seragam ARA berwarna abu-abu mirip celana seragam anak SMA. Wow... kaos tersebut mengeluarkan aroma yang sangat ‘tak enak’, rupanya kaos tersebut habis dipakai tanpa dicuci lagi. Hadeuh... dasar nasib ‘anak bawang’ maka aku manut saja memakainya. Kalau nggak, bisa-bisa aku diturunin di tol ketika pulang (hehehe... lebay).

Semua peserta berdiri melingkar, dan ditengah-tengah berdiri Rantip membawa acara itu. Dengan semangat tinggi dan riang, dia mulai memainkan beberapa game yang seru. Kemudian membagi para peserta menjadi empat kelompok. Kelompok ini nantinya harus diberi nama. Syarat nama kelompoknya yakni hewan yang kecilnya dibawah jempol tangan, dan bisa terbang. Mulailah mereka berisik berdiskusi memikirkan nama kelompok masing-masing. Kemudian terbentuklah Kelompok Lalat, Lebah, Nyamuk, dan Semprang. Lalu mereka diminta membuat yel-yel kelompok mereka. Mulai dari yel-yel yang biasa bahkan ada yang konyol dengan sedikit gerakan tubuh yang bikin geget.

Game dimulai, keceriaan peserta mulai cair membaur. Ada instruksi tangan diangkat dengan satu kepalan tangan ketika instruktur (Rantip) bilang Liberti, posisi lampu merah (jalan raya), dengan peserta yang berposisi jongkok, rukuk, dan berdiri, dengan mengucapkan merah (jongkok), kuning (rukuk) dan hijau (berdiri), formasi mawar dengan tiga orang saling berpegangan tangan melingkari peserta ditengahnya, dan posisi kereta api, dengan saling memegang pundak rekan didepannya dan harus berjumlah lima orang. Dan game terakhir posisi ular, semua peserta dibagi dua kelompok, dimana posisi kepala ular mencari ekor ular lawannya dan tidak boleh putus berpegangan pundak rekannya. Wah... pokoknya seru banget.

Saatnya ke game per kelompok yang membutuhkan kekompakan, koordinasi, dan kerjasama tim, yakni spider web, magic stick, water toxic, dan traffic jam. Aku memandu game spider web. Dalam game ini salah satu peserta harus melewati segitiga dalam jaring yang telah dibuat, dengan ketinggian jaring kira-kira 1,5 meter dari tanah, sedangkan yang lainnya berusaha bersama, bagaimana caranya agar rekan mereka melewati jaring tersebut tanpa menyentuh secuil pun anggota tubuh dan bahkan sesuatu yang melekat ditubuh. Untuk strategi, taktik, dan teknik bagaimana melewati lubang jaring tersebut aku serahkan ke setiap kelompok, terserah mereka mau pakai metode apa. Pertama aku memberi kesempatan kepada peserta hingga lolos. Jika sudah lolos lalu mereka berpacu dengan waktu untuk melewati jaring tersebut.

Lazuardi 'Rantip' memandu fun game

Yel-yel dari Kelompok Nyamuk

Posisi Liberti

Posisi 'lampu merah' 

Formasi 'mawar'

Formasi kereta api

Formasi Ular

Salah satu kelompok melewati jari dalam Spider web game
























































































































Seluruh total permainan telah mereka lalui. Sore menjelang. Selesai istirahat sebentar dan sholat ashar, mereka bersiap menuju ke Curug 5. Lokasinya berada diatas camping ground kami. Menurut kabar yang aku dengar, Cilember memiliki curug (air terjun) sebanyak tujuh buah, namun curug yang dekat dengan posisi kami adalah Curug 5 dan Curug 7.

Mendaki beberapa anak tangga yang lumayan bisa bikin kaki sedikit pegel dan mengeluarkan keringat juga, akhirnya kami sampai di Curug 5. Di dekat curug tersebut juga ada warung makanan kecil, bahkan terlihat ada orang lain yang camping di dekat curug tersebut.

Curug 5 memang unik. Air jatuh dari tebing yang tinggi menghujam ke bawah. Di dasar sudah ada pepohonan yang seolah-olah menantang air yang diguyur dari atas. Riak airnya yang menabrak bebatuan memang sangat bagus untuk fotografi dengan teknik low speed pada setting-an shutter speed-nya. Sehingga akan mengahasilkan foto dengan aliran air yang akan tampak seperti kapas.

Menuju Curug 5

Curug 5 (a)


Curug 5 (b)

Curug 5 (c)

Mejeng dengan background Curug 5




























































































Puas menikmati sejuknya air curug dan berfoto-foto ria, kami bergegas menuju tenda. Istirahat sebentar dan mandi, kemudian mempersiapkan diri untuk menikmati barbeque di malam hari. Atas permintaan peserta, malam hari memang tak ada acara dinner. Mereka sengaja membawa ayam mentah, sosis, peralatan membakar, bumbu untuk sate dll untuk barbeque. Kami (ARA) hanya menyediakan kayu bakar, arang, dan api untuk menunjang kegiatan mereka. Aku membawa anglo sebanyak 2 biji, Niko membawa arang, sedangkan Heru membawa jagung dari warung tadi. Sesampainya di camping ground, Heru segera membuat api pada arang di atas anglo, sedangkan Rantip yang dari tadi bersama para peserta sudah membantu membuat api besar, yang kayunya telah diantar oleh seorang bapak (yah... mungkin itu penjual kayunya kali).

Menikmati malam dengan bakar jagung
















Setelah bara memerah di atas anglo, aku membakar jagung dengan terus mengipasi anglo supaya bara tetap menyala. Tampak terdengar lagu-lagu dan suara gitar terdengar dari tenda mereka. Rupanya mereka menikmati malam ini, pikirku.

Malam semakin larut. Udara gunung berhembus dingin menusuk tulang. Saatnya tidur dan masuk kedalam tenda. Tak lupa aku menutupi seluruh anggota tubuh dengan jaket, celana panjang, kaos kaki dan gloves supaya tetap hangat sepanjang tidur. Semoga besok menyenangkan.


Thanks to Niko, Heru, dan Lazuardi ‘Rantip’ dari Akar Rumput Adventure.
*selengkapnya baca di posting-an sebelumnya ‘Pendakian Gunung Gede’