24.7.12

Strobist Experiment


Mendengar kata strobist, kebayang langsung pada foto dengan model, dengan lighting yang ditujukan ke suatu objek dan area sekelilingnya gelap. Memang masih sedikit perbendaharaan vocabulary fotografiku, sehingga cukup sulit mencerna kata tersebut. Cukup lama juga untuk membayangkan foto strobist ketika Niko mengatakan akan hunting dengan bereksperimen strobist.


































Aku diperkenalkan Niko pada Mafi, dia seorang fotografer model. Awalnya Mafi tak mengakui bahwa ia fotografer, namun setelah melihat kamera dan peralatan fotografinya, aku baru tahu bahwa ia bukan fotografer sekelas diriku. Namun untuk strobist ia pun masih tahap mencoba, mungkin dasarnya sudah tahu, tidak seperti aku yang langsung nyemplung begitu saja.

Flash radio trigger, receiver, flash, tripod, dan umbrella, sudah siap sedia. Mafi membawa semua peralatan tersebut. Semuanya kit baru. Jadi masih seneng-senengnya dengan fotografi ini. Bahkan tengah malam masih memotret dengan objek yang ‘alakadarnya’.

















Tempat sudah ditentukan: Pelabuhan Sunda Kelapa dan Cibodas. Namun model belum ada. Beberapa kali aku mendengar Mafi menelepon seseorang yang kiranya bersedia jadi model, namun usahanya belum berhasil. Hingga Niko mengusulkan Berry dan Vanessa untuk diajak jadi model, ia pun berhalangan. Tapi kita tak mau ambil pusing dengan urusan model, hunting ini musti terlaksana.

















Seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi, tak ada model teman pun jadi. Beberapa kali aku harus berpose ‘alakadarnya’ didepan kamera mereka dan dihujani sorot lampu flash. Dan memang posenya tak ‘seindah’ model. But it’s not bad for begining. Kadang kami pun bergantian.

21.7.12

Pondok Kemangi


Kami berjalan menuju ke arah agak belakang Restauran Pondok Kemangi Cibubur. Di area belakang, meja makan persis dibawah rumah Joglo yang terbuka. Dikelilingi dekorasi replika teras rumah tradisional dengan beberapa bale. Alunan musik dari sepaker terdengar sayup-sayup.
















Pesanan kami datang. Memang kami sudah booking sebelumnya sehingga kami tak menunggu lama untuk memesan.
















Lembutnya ceriping dengan saus yang yummy. Sejenis kerang yang kulitnya tipis ini, dagingnya memang lembut, seperti tahu. Sausnya juga pas, spicy dengan campuran telur yang dihaluskan.
















Tumis genjer cah tauco memang cocok sebagai pendampingnya. Dimasak pas, tidak terlalu matang.
















Yang lembut-lembut ternyata tidak hanya ceriping saja. Gurame bakar-nya juga lembut banget. Warnanya memang cokelat seperti gosong, namun perfect roasted.
















Semnetara udang sambal bali-nya menurutku bumbunya tidak menyatu, satu menu tapi seperti terpisah antara bumbu dan intinya. Udangnya digoreng biasa, dan bumbunya terdiri dari irisan bawang merah, bawang putih, dan cabe yang digoreng setengah matang.
















Resto ini memang sangat cocok untuk acara keluarga atau acara makan siang pekerja. Beberapa pegawai kantoran juga tampak memenuhi meja makan di saat makan siang, sehingga rame. Menu yang ditawarkan didominasi seafood dan masakan Sunda.

19.7.12

Emon dan Gunung Gede-Pangrango


Pagi dini hari masih gelap, namun suasana di Persinggahan Kandang Badak sudah ramai. Riuh bukan dari tenda kami saja, namun juga tenda-tenda yang lainnya. Udara subuh-subuh ini sungguh membuat setiap pendaki harus menyematkan jaket tebal, sarung tangan dan kupluk. Satu per satu peserta kami keluar tenda, sesuai rencana, sekitar jam empat pagi harus siap untuk summit attack ke Puncak Gunung Gede, untuk berburu sunrise.
















Aku keluar tenda, teman-teman yang lain sudah berkumpul dibawah flysheet yang sekaligus digunakan untuk tempat berkumpul, makan, dan memasak. Lazuardi ‘Brewok’ sudah siap mengantar para peserta. Erik sudah siap membantu. Erik berkali-kali mengajakku ke Puncak Gunung Gede. Aku menolaknya, karena niat awalnya memang tak akan summit attack dengan pertimbangan tanjakan yang curam (ingat Tanjakan Setan-nya).

Kami tergabung dalam komunitas mendaki gunung. Ada sekitar 27 peserta yang ikut. Aku bukan pendaki gunung sejati atau pecinta alam yang membenamkan diri dalam kegiatan pendakian. Beberapa pekan yang lalu Lazuardi ‘Brewok’ mengajakku naik Gunung Gede bareng dengan para pecinta alam. Plus Erik juga meracuniku untuk ikut kegiatan ini. Sungguh tawaran yang susah ditolak.

Memang tak semuanya ikut summit attack, beberapa juga ada yang tak tertarik untuk hal itu, entah apa alasannya. Peserta yang mau summit attack berkumpul dan berdoa. Dan segera mereka bergegas menuju ke Puncak Gunung Gede. Aku sengaja menitipkan kameraku ke Erik, dengan harapan dia membawa oleh-oleh gambar amazing sunrise di puncak sana.

Para summitter sudah pergi. Yang lain masih meringkuk di dalam tenda, untuk menghindari dinginnya udara gunung di pagi hari. Aku dan Endang Herman atau yang akrab dipanggil Emon duduk di bawah flysheet. Emon merapihkan gelas bekas teh, kopi, dan susu hangat yang tadi dinikmati para summitter untuk mengusir dingin.

Pagi masih gelap. Bintang di langit masih bertaburan. Bulan tua yang berbentuk sabit masih terang di langit timur, terhalang sedikit oleh pepohonan. Hawa dingin juga masih menusuk tulang.

Merujuk ke pembagian tugas, sementara mereka ke Puncak Gunung Gede, Emon diminta menyiapkan sarapan. Dia didaulat menjadi porter, tapi bukan porter yang kami sewa melainkan oleh Pasutri, salah satu peserta yang membawa keluarganya. Aku dan Emon, bukan kali ini kenal. Aku mengenalnya ketika hiking ke gunung tersebut September tahun lalu bersama rekan-rekan dari Akar Rumput Adventure (ARA). Sosoknya memang sederhana dan selalu rendah hati, juga suka menolong.
















Dia bercerita panjang lebar tentang pengalamannya menjadi porter. Banyak sudah yang memakai jasanya, baik dari kalangan biasa maupun dari kalangan media, seperti Trans TV, Trans 7, dan yang terakhir bersama kru dari Metro TV. Mungkin sudah banyak orang yang mendaki ke Gunung Gede-Pangrango bareng dengan dia. Bahkan ada yang menyerahkan sepenuhnya segala urusan logistik dan angkat-mengangkat barang menuju puncak gunung kepadanya. Mereka begitu percaya terhadap service-nya. Aku pun tak memungkiri hal ini, menurutku dia memang profesional. Pengalamanku kemarin, memang memuaskan sekali, tiba di tujuan camping, tenda sudah berdiri alias tinggal ditempatin, bahkan didalamnya sudah disediakan sleeping bag. Minuman hangat sudah siap sedia, bahkan bisa milih, kopi atau teh. Soal makanan, sama enaknya dengan makanan di rumah, tidak seperti pendaki lain yang biasanya hanya bawa makanan instan, lauk-pauk seperti tempe/tahu goreng, ikan asin, tumis sayuran, sup sosis dan baso, juga nasi liwet, siap santap, bahkan ditambahin buah-buahan pula.
















Namanya juga taman nasional, pasti memiliki keunikan flora dan faunanya. Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) ini memang memiliki banyak sekali floranya. Aku bahkan sesekali memotret hijaunya dedaunan. Lumut-lumutan, aneka pakis, dan jenis paku-pakuan yang menempel di pohon tumbuh subur di lingkungan higrofit. Pohon-pohon besar juga ada. Bunga dari semak-semak juga sungguh indah. Bunga edelweis banyak tumbuh di Surya Kencana. Bahkan Erma sempet nemuin dandelion. Cantigi mendominasi Puncak Gunung Gede. Sedangkan untuk fauna banyak sekali dijumpai burung dan primata. “Bahkan macan, rusa, dan babi hutan juga ada.” kata Emon. Dia bercerita pengalamannya camping dilewatin oleh kucing besar. Waktu itu bukan musim camping dan dia camping saat weekdays yang biasanya tak seramai camping ketika weekend. “Kalau camping tidak rame mereka (hewan) bisa lewat tenda kita. Tapi kalau rame kayak gini nggak” terangnya.

















Air menjadi faktor yang penting bagi pendaki atau yang berkemah. Makanya banyak yang camping di sekitar Kandang Badak atau Alun-alun Surya Kencana. Jika di Kandang Badak ada pancuran air, sedangkan di Surya Kencana sumber air berasal dari kali kecil. “Kalau camping di Puncak (Gunung Gede) airnya dari mana Om?” tanyaku, karena sepengetahuanku di Puncak tidak ada sumber air. “Ya turun ke bawah, ke Surya Kencana” jawabnya.

Keunikan cuaca juga bisa ditemui di Surya Kencana. Emon pernah menjumpai bulir-bulir salju atau es di atas rerumputan. Pengalaman tersebut dia jumpai ketika membawa kru Metro TV beberapa pekan lalu. Suhu pagi itu saat salju ada yakni -2°C.

TNGP memiliki keindahan alam yang menurutku amazing, dan mungkin komplit. Jika mendaki melalui Jalur Cibodas seperti yang kami lalui akan menemukan banyak sekali spot yang menarik. Ada Telaga Warna yang tenang. Riaknya curug air panas akan kita lewati, sebelum melintasi Kandang Batu. Ini sekaligus juga sebagai jalan satu-satunya yang melintasi air terjun. Air Terjun Cibeureum juga sebetulnya kami lalui, namun aku tak pernah singgah ke air terjun tersebut karena jalurnya yang jauh dari jalur pendakian. Juga ada air terjun kecil setelah Kandang Batu. Hutannya masih cukup alami dengan lumut yang menutupi batang pohon.



















Pagi mulai merekah. Siluet Gunung Pangrango di depan tenda kami perlahan-lahan mulai pudar, menampakan wajah ‘aslinya’ karena terkena sinar matahari. Kami memulai tugas, Emon segera menyiapkan menu sarapan. Pertama kami merebus air. Kemudian memasak nasi. Aku membantu menggoreng dua bungkus otak-otak dengan mentega. Emon dengan cekatan menumis sayuran di atas trangia. Mengiris buncis dan cumi. Juga memasak ikan sarden dan menggoreng telur dadar. Keluarga Mba Retno keluar tenda, mereka tampak kelaparan dan mencari tabung gas dan kompor kecil yang sedang kami pakai. Aku meminta mereka bergabung dengan kami. Segera aku merebus air dan memasak mie instan pesanan mereka. Bismar yang setenda denganku ikut gabung. Dia tak bisa tidur nyenyak semalam. Ngakunya, pinggangnya sakit karena tidur beralaskan batu.

Menu sarapan sudah siap dan mungkin keburu dingin. Sementara teman yang summit belum nongol juga. Kami tunggu hingga pukul sepuluh pagi. Satu per satu dari mereka pun datang.






2.7.12

Ennichisai 2012


Jakarta Little Tokyo, yang berada di Melawai, Blok M, siang di akhir pekan penguhung Juni, itu begitu riuh. Hajatan tahunan yang menampilkan kebudayaan dan seni Negeri Sakura, Ennichisai 2012: Arigato Kokoro No Tomo.

Lampion yang menggantung di dashi.















Aksi panggung, musik, kuliner khas Jepang, pakaian, kaligrafi dengan aksara Kanji, parade mikoshi dan dashi, dan cosplay (costum player) semuanya bertemu di satu tempat.

Aksi Panggung (アクションステージ)

Selain penampilan panggung band yang diisi oleh kaum muda, juga ada panggung yang menampilkan kebiasaan atau adat Negeri Matahari Terbit itu. Dipandu oleh pembawa acara yang sekaligus sebagai translator, Bahasa Jepang–Bahasa Indonesia. Seperti peragaan memakan mie ramen oleh salah seorang pria Jepang, dengan suara yang persis sama seperti menyeruput kuah mie, dan ekspresi pedas dan panasnya mie. Juga ada seni bercerita/dongeng ala Jepang dengan duduk kaki dilipat.

Aksi band.

Mempraktekan ada Jepang, dipandu oleh MC sekaligus translator.

Seni bercerita ala Jepang.












































Kuliner (料理の)

Dorayaki, takoyaki, yakitori, ramen, ringgo ame (apel berlapis karamel), sushi, tersebar di beberapa stand. Hidangan resto ala Jepang seperti Yoshinoya juga membuka stand-nya. Bener-bener memanjakan lidah.

Menikmati sushi.

Membuat takoyaki.






























Seni dan Budaya (芸術と文化)

Abadikan nama sendiri di atas kertas, kain atau kayu kecil dengan kaligrafi aksara Kanji. Datanglah ke stand Rubaya. Mr. Rubaya akan menggoreskan kuas dengan tinta hitam di media yang kita pilih. Tunggu beberapa menit, jadi deh...

Jika ingin tampil ala anak Jepang, bisa mencoba ke stand penyewaan kostum ala harajuku. Berdandan semodis dan ‘segila’ mungkin ala anak muda Jepang. Nikmati juga memancing ikan-ikan kecil dengan 'jaring' kertas. Tak ada salahnya bawa pulang souvenir khas Jepang dengan mengunjungi stand souvenir.

Kaligrafi aksara Kanji.

Penyewaan kostum harajuku

Membeli souvenir khas Jepang.

Menangkap ikan dengn 'jaring' kertas.

Souvenir, boneka berkimono.

Peoples.






















































































Mikoshi (神輿) dan Dashi (だし)

Arak-arakan mikoshi dan dashi segera bergemuruh. Anak-anak dan remaja putri memanggul mikoshi. Mikoshi sendiri merupakan miniatur kuil shinto yang bisa dipindahkan. Di Jepang, arak-arakan mikoshi merupakan ritual yang diadakan bagi penganut shinto.

Sedangkan pria dewasa menarik dashi. Dashi merupakan kereta yang didalamnya terdapat anak-anak yang menabuh bedug dan ditarik oleh beberapa orang.

Di awali oleh pembawa panji

Diikuti oleh anak-anak

Mikoshi yang dibawa anak-anak.

Pemudi pun ikut memanggul mikoshi.

Pria dewasa menarik dashi.








































































Cosplay (コスプレ)

Berpenampilan ala tokoh idola atau anime manga, dibuat semirip karakternya. Itulah cosplay atau costum player. Pemuda dan pemudi penggemar anime ini akan berpenampilan habis-habisan semirip mungkin dengan tokoh dalam anime. Bahkan rela memakai lensa kontak demi mirip bola mata dengan tokoh anime.

Cosplay, berdandan semirip mungkin dengan tokoh anime manga.