25.5.13

Impressive Escape Tanjung Lesung (Part 1)



Langit biru, air laut jernih dan tenang, pantai berpasir putih, cuaca cerah, bisa berenang sambil nikmati sunset, bangun pagi sudah disuguhin sunrise, dan malam hari bertabur bintang dan sinar bulan, sungguh pelarian yang mengesankan. Sempurna! Ya, itulah sekelumit kata-kata buat menggambarkan suasana Tanjung Lesung, Banten.


Kami tiba di Tanjung Lesung sore hari. Jadi kami tak ketinggalan buat menikmati sunset plus menyiapkan menu makan malam. Dua buah tenda kami dirikan, peralatan kami keluarkan. Apalagi acara masak-memasaknya dengan latar sunset, beuh..!! nambah asoy aja suasananya. Kami membuka hasil belanjaan dari Pasar Muarabinuangeun: ikan kakap merah dan tongkol segar, kangkung, bumbu-bumbu, dan ketinggalan tempurung (batok) kelapa yang sengaja banget diborong Jhon buat BBQ-an. Komplit!


Soal memasak kami serahkan kepada Jhon. Katanya dia akan memasak ikan bakar yang super lezat. Kami tak mau mengganggu keinginannya yang besar itu, cuma bisa bantu menyiapkan segala yang perlu dibantu, semacem nyiapin api, potong-potong cabe, plus membersihkan peralatan memasak. Urusan resep dan cara memasaknya serahkan semuanya kepada Jhon. Kami tinggal makan aja. Okelah kalo begitu!


Saking demennya dia masak, bumbu sekecil apapun tak luput dari perhatiannya. Takaran sekecil apapun dia perhatiin. Detail banget. Bahkan bawang merah yang hanya kurang beberapa biji aja, nggak ada toleransi. Bisa mempengaruhi citarasa. Sorry Jhon, kita emang kurang teliti. Kirain kita masih banyak. Ngeles!


Sunset udah mau menyambut kita. Oke sementara bahan buat masak sudah kita siapkan makanya kita langsung nyemplung ke laut. Airnya yang jernih dan ombaknya tenang, plus lautnya landai membuat acara mandi asyik banget. Apalagi di sebelah barat ada sunset, nambah amazing aja.






Malamnya, sambil ditemani bulan separo kami memanggang ikan dan memasak tumis kangkung saur teriyaki (beuuhh…!!). For assignment: masak nasi serahkan ke Niko, tumis kangkung ditangani Dahlia, Jhon bareng Chevy yang urusan panggang-memanggag ikan dengan bumbu yang telah dibikin Jhon, sementara aku mengiris semangka buat cuci mulut. Sialnya gara-gara ngiris semangka jari tangan jadi keiris juga. Untungnya ada Chevy sang dokter hewan yang membantu merbanin luka pake tissue (berhubung kotak P3K-nya nggak kebawa). Katanya, dokter hewan itu nggak cuma bisa nanganin –pasien- hewan aja, tapi manusia juga. What?!!!


Selesai dinner, api unggun kami nyalakan. Apinya sengaja nggak dibikin gede-gede, soalnya cepet abis nyalanya. Kita leyeh-leyeh didepan api unggun. Sementara ditemani oleh suara ombak yang sayup-sayup. Di langit bulan separo kelihatan samar-samar dibalik awan yang tipis. Tapi sayangnya bintang-bintang nggak keliatan, mungkin kalah sama sinar bulan kali ya?


To be continued…

21.5.13

Bermalam Di Linggarjati



Traveling biasanya perlu nginep juga. Begitu juga kami ketika jalan-jalan ke Cirebon ini. Dari awal berangkat tidak ada diantara kami yang kepikiran buat nginep dimana. Boro-boro reservasi penginapan murah, yang ada malah pada cuek bebek semua. Pas hari menjelang malam baru kepikiran.

Untungnya ada Niko yang setia dengan tendanya. Jadi kita akan nenda di pantai Cirebon (pilihan yang ekonomis buat kantong kami). Tapi melihat pantai Cirebon yang ngenes banget kondisinya, maka kami putuskan nyari tempat lain saja. Om Usman, rekan Niko yang kebetulan tinggal di Cirebon juga bingung buat ngasih advice mau nginep dimana. Ide tercetus di kaki Gunung Ceremai arah pulang, padahal kami masih pengen ngerasain suasana Cirebon esok harinya. Niko mengusulkan Googling by smartphone nyari Sidomba, apa bisa buat camping atau nggak. Dan pencarian pun sepertinya membawa hasil. Sidomba cocok buat camping. Yess!!!


Kami pun meluncur jaya menuju ke tempat yang dimaksud. Namun sayang, kami malah datang pas waktu isya. Kami tanya ke security Sidomba, tapi rupanya tak diberi izin masuk, karena kami datangnya kemalaman. Kami memang harus reservasi dulu, minimal jam empat sore kepada pengelola. Dengan muka memelas pun rupanya tak mempan membuat security itu membukakan pintu masuk. Mereka juga sudah kontak atasannya namun tak diberi izin juga. Akhirnya kita nyari tempat yang lain.

Di jalan kami malah bingung mau camping dimana. Tercetus ide camping di Linggarjati. Om Usman tampak sibuk mengontak beberapa rekannya untuk menanyakan apakah tempat tersebut bisa buat camping dan bisa diizinkan jika sudah malam begini?


Akhirnya kami sampai di Linggarjati, petugas keamanan tanpa pertimbangan yang berat mempersilahkan kami buat camping di tempat ini. Alhamdulillah… thanks God.

Kami mencari spot yang cocok buat camping. Akhirnya nemu, lokasinya tak jauh dari mushola, dan jalan. Segera dua buah tenda didirikan. Soal mendirikan tenda memang tak ada masalah, soalnya kami memang sudah terampil mendirikan tenda, apalagi ada Chevy dan Niko yang pengalaman mendirikan tendanya sudah tak perlu dipertanyakan lagi.


Dua buah tenda sudah berdiri, namun perut lapar. Akhirnya kami membuka bungkusan hasil belanjaan dari minimarket yang semua orang sudah tau. Beberapa mie instan kami rebus, ditemani dengan cemilan ‘barang-pecah-belah’ semacem rempeyek dan keripik. Dari perut naik ke mata: kenyang+ngantuk. Kami bergegas menuju tenda, tidur hingga subuh menjelang.

Pagi sudah terang, tapi temen-temen yang lain pada masih ngeringkuk di dalam tenda. Sepertinya nggak peduli sama segernya udara pagi Linggarjati.



Tak lama kemudian, temen-temen yang lain pada keluar tenda. Khususnya yang ngerasa lapar. Dengan bahan baku sisa mie instan, telur dan roti tawar kita memasak. Om Usman mulai menunjukan ‘kasih sayangnya’ sebagai seorang ‘ayah’. Dia memanggang roti diatas trangia, kemudian mengoleskan selai atau susu cokelat dan menawarkannya kepada kami. Selain itu juga memesan kopi hangat dari warung sebelah yang mulai buka. Thanks ya Om…


Chevy yang dari malam didaulat menjadi ‘koki’ kami menunjukan bakatnya lagi. Kali ini memasak menu yang belum pernah kami temui di resto mana pun : telur-dadar-mie-sosis. Glek…!

Tapi nggak disangka, ternyata cita rasanya sungguh la to de zies… lazies! (meminjam istilah Benu Beloe). Sikat abis…




Oke, perjuangan mencari ‘penginapan’ sudah usai. Kami harus berpamitan dengan indahnya alam Linggarjati, terutama juga harus berpamitan dengan penjaga taman Linggarjati ini yang telah memperkenankan kami nginep di sini. Tenda di bongkar, sampah-sampah dibersihkan dan dibuang pada tempatnya. Save the earth guys…



***

16.5.13

Berpeluh Di Tiga Pulau



Sejak menjejakan kaki di Pulau Kelor matahari sudah meninggi, tentunya berefek pada keluarnya peluh dari tubuh. Namun antusias untuk menjelajahi rangkaian tiga pulau yang memiliki sejarah kelam dari penjajah Belanda atas Batavia ini, terik bukan halangan yang menyurutkan kami.



Pulau Kelor, yang hanya seluas sekitar empat kali lapangan futsal ini merupakan pulau yang diprediksi 20 tahun mendatang bakal hilang. Puing benteng di salah satu sisi, terlindung oleh semak-semak dan pohon menjadi bukti bahwa dulu pulau ini sebagai pertahanan. Garda depan untuk melindungi Batavia dari serangan musuh.


Spot ini juga yang sekarang banyak digunakan untuk pemotretan preweding. Memang nggak salah kalau spot ini sangat recommended buat foto (prewed), dengan latar belakang puing bata merah menjadikan spot yang ‘indah’ untuk masuk ke dalam frame. So, bukan para pasangan saja yang mau mengabadikan moment mereka disini, ternyata kami tergiur juga. Fyuh..!!!


Tembok-tembok lapuk, berlumut dan warna putih memudar, menjadi saksi bisu karantina jemaah haji pada masa penjajahan Belanda. Ini merupakan bekas rumah sakit untuk para jemaah haji satu-satunya di Pulau Cipir. Terlihat ruang-ruang kecil seperti bekas kamar-kamar pasien.






Berbeda lagi di Pulau Onrust, yang memiliki makam-makan bangsa Belanda. Yang terkenal adalah seorang wanita bernama Maria Vande Velder. Bahkan hingga kini kuburan itu sering jadi tempat ‘ngalap berkah’. Tampak adanya bekas persembahan: lilin dan botol air mawar. Kurang kerjaan banget!





Well, cuma Pulau Cipir dan Onrust yang memiliki pepohonan yag rimbun, sehingga cukup buat melindungi diri dari teriknya matahari. Namun siang itu cukup panas sehingga hawa gerah tetap terasa. Peluh tetap nyucur.


Memang sudah umum dan jamak jika ketiga pulau ini: Kelor, Cipir, dan Onrust menjadi destinasi historical travel. Cocok sekali buat edukasi mengenal sejarah Jakarta. Apalagi belajar sejarah sambil berwisata menjadikannya nggak ngeboringin. Agree!!


***

13.5.13

Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon



Tak seperti Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan berada di lokasi yang strategis dan mudah dijangkau. Mungkin hal inilah yang menjadikannya ramai dikunjungi para wisatawan. Juga sudah dikelola dengan baik. Terlihat adanya dikenakan tiket masuk (umum sih…), dipandu oleh guide yang memakai busana tradisional: blangkon dan bersarung.


Kami diajak berkeliling kompleks keraton. Melewati beberapa gapura khas Cirebon: bata merah ekspos, juga beberapa pintu gerbang.

Di kompleks paling luar terdapat pendopo dengan atap limasan. Tempat inilah digunakan oleh Raja dan anggota keraton lainya untuk berkumpul.





Sebelah bangunan utama keraton ada museum yang menyimpan berbagai pusaka kerajaan pada masa lampau. Mulai dari perangkat kebudayaan: alat musik, lukisan kama sutera, keramik, perangkat tedah sinten, dan peralatan keseharian hingga peralatan perang: tombak, baju besi, busur dan panah, pedang, perisai.



Masuk ke bangunan utama. Ruangan lega ini dengan didukung sirkulasi udara yang baik memang terasa sejuk ditengah cuaca Kota Cirebon yang panas. Terdapat singgasana Raja dan juga beberapa kursi untuk para pembantu raja. Lagi-lagi dinding-dindingnya dihiasi keramik motif Tiongkok dan Eropa.




Museum sebelah timur, tempat menyimpan kendaraan kerajaan: kereta, tandu. Juga ada lukisan Raja Pertama yang berkuasa: berperawakan gagah, besar dan tegap dengan harimau disampingnya. 


Rupanya masih ada lagi bagian kompleks keraton yang guide ingin tunjukan, yaitu: pemandian (taman sari) dan tempat ngaji (menuntut ilmu). Jangan dibayangkan tempat pemandian dengan kolam berisi air jernih dan menyejukan seperti pemandian lainnya. Tempat ini sudah tidak digunakan lagi hanya tinggal puing batu-bata yang teronggok dan berlumut hijau. Namun sumurnya masih mengeluarkan air yang segar.



Ternyata kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon memang luas. Kami sampai gempor untuk menghatamkan semuanya. Kerongkongan kering karena cuaca Cirebon yang panas. Tapi terbayar dengan rasa puas melihak koleksi pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon yang masih terawat cukup baik (minimal hingga saat ini).


***