22.4.13

Menyesap Cibodas



Bangun kesiangan. Memang mata susah dibuka. Tidur baru bisa jam tiga pagi, sejam kemudian kebangun gara-gara Heru. Dan tak bisa tidur. Setelah subuh, baru deh dipaksaain buat tidur lagi. Bablas sampe jam setengah sembilan pagi.

Acara ngadem di basecamp ARA –Akar Rumput Adventure- (dulunya basecamp Yayasan Survival Indonesia –YSI-) berjalan sukses. Walaupun ngedadak planing-nya. Dengan ngajak kru dari ARA. Kita memang berangkat udah tengah malam dari Jakarta, untuk menghindari macet ke di Tol Jagorawi plus Puncak. Nyampe sono ya udah masuk waktu qiyamul lail. Plus pake acara ngobrol hangat dengan Emon, sang ‘juru-kunci’ basecamp. Dan Keluarga om Chepy juga sudah datang duluan. Reuni deh!

Melongok keluar dari balik jendela, cuaca agaknya cerah. Pemandangan hijau perkebunan warga sejuk dilihat. Disisi kiri kami ada Gunung Gede-Pangrango.


Sarapan pagi udah disiapin sama Tante Bayu, dan Emon. Membeli nasi kuning, plus chicken wing, plus gorengan. Nasi kuningnya unik, dibungkus dengan daun pisang, sehingga ada sedikit aroma daun pisang yang nyesep ke nasi. Gurih. Tak ketinggalan pula secangkir kopi dan teh hangat, untuk memulai hari.



Sebenernya kami tak muluk-muluk weekend disini. Tak ada rencana khusus mau ke spot rekreasi mana. Cuma ngadem doang. Memang sih sudah bawa kamera. “Udah bawa kamera malah tidur (pagi)” kata bang Jack. “Ngantuk banget Om, abis subuh mending tidur” jawabku ngeles.


Aku dan Niko keliling sekitaran YSI. Menikmati pasar yang mulai rame. Lapak-lapak yang mulai dibuka. Riuh dengan lalu-lalang orang-orang. Ada yang nawarin keripik bayam. Asongan stroberi yang memelas supaya dagangannya dibeli, dan lain-lain terkait dinamika pasar.




Udah sore, aku pun kembali ke pasar yang ada disekitaran. Rame pula. Menikmati keramaian pasar. Tawar-menawar antara pembeli dan penjual.

Menjelang magrib, awan sunset plus kabut bikin mata tak lepas melihat, nahan kedip. It’s wonderful.



13.4.13

A Little Piece of Misty Morning



Suasana pagi dengan udara dingin memang menjadi alasan yang tepat buat malas-malasan. Namun siapa sangka, dengan melongok sedikit ke belakang rumah, maka akan menemui suasana yang tenang.

Berhenti di tepian kebun, dengan tanah dan dedaunan yang basah karena embun. Hawa penuh bulir air. Dingin dan sepi. Memang sih, belum ada kegiatan farmers yang akan mengelola ladangnya. Kabut juga masih menutupi.


Masuk ke salah satu kebun kelapa. Pohon-pohonnya makin jauh makin tersamar karena kabut. Matahari pun belum juga mampu mengusirnya.

Diseberang kebun kelapa, terhampar sawah yang akan segera ditanami. Selesai diratakan tanahnya dan dialiri air. Bayangan landscape di air yang membuat suasana makin tenang dan adem. Cool…



Saung tua yang tampak kurang perawatan berdiri dekat pohon pete yang daunnya meranggas. Saung inilah yang dijadikan petani untuk istirahat melepas lelah dan sedikit untuk memulihkan tenaga dari capeknya mengelola ladangnya.

Ini pagi yang tenang… 






9.4.13

Absurd Rafting In Citarik (#2)




Selesai membersihkan diri kami langsung makan siang. Beberapa staf mengantarkan menu makan siang yang membuat air liyur menetes. Menu kali ini menu khas sunda: sayur asem, karedok, tempe dan tahu goreng, ikan asin, ayam goreng plus pasangan yang super serasi, sambal plus lalapn mentah. Untuk minuman ada sirup melon dengan nata de coco dan agar-agar. Slurp!


Slowly but sure, semua makanan yang dihidangkan ludes des! Yanthi ngambil nasi sampe menggunung di piring. Dini yang ngambilnya dikit, namun sering nambah. Soffur yang alasannya ‘sayang nggak dimakan’ akhirnya menghabiskan karedok juga. Dan Claudio yang makannya agak sedikit karena alasan masakan Indonesia yang strong (too spicy), melahap juga kerupuk terakhir. Kalau aku yang pasti-pasti aja lah, cukup tiga biji tahu-tempe. Hehehe... Laper amat sangat!


Capek dan kenyang, adalah perpaduan yang sempurna buat nyari bantal. Claudio rebahan di kursi. Melihat dia yang pengen istirahat, Utamie mempersilahkan kami menuju ke saung penginapan yang ada di Caldera Rafting. Tawaran yang bener-bener susah ditolak.


Saung penginapan Caldera Rafting sangat vintage. Semi terbuka. Dengan desain semi tradisional, terdiri dari dua lantai, lantai bawah dengan lantai keramik dan ada toilet, sedangkan lantai atas terdiri dari dua bilik, yang berisi beberapa kasur empuk. Semi terbuka sehingga ada sirkulasi udara. 


Sementara Claudio, Soffur, dan Dini istirahat tidur siang. Yanthi ‘menyeretku’ diajak Utamie untuk eksplor Caldera Rafting. Melihat beberapa saung penginapan yang lainnya. Ada arena buat outbond, api unggun, meeting room (indoor dan semi indoor), dan kolam tangkap ikan. Oh ya, untuk outbond ada pemandu yang setiap bulan games-nya diganti-ganti, jadi kita nggak akan bosen. Juga bisa membeli cenderamata khas Caldera Rafting semacem kaos di salah satu sudut taman.


Kami kembali ke saung. Mereka bertiga akhirnya terbangun. Lalu kami ngobrol ngalor-ngidul. Gerimis turun. Suasanya sungguh adem.

Petang menjelang saatnya pulang. Namun suasana petang di Caldera Rafting memang romantis. Lampu-lampu di taman yang ditutup dengan daun kelapa kering dan dari saung, menyala. Suasana jadi temaram. Romantic athmopshere. Bikin kami males pulang. Tapi sayangnya kami tak bisa menginap disini untuk merasakan hawa ini, karena beberapa hal. 


Walaupun rafting kali ini terasa absurd, namun suguhan dan layanan Caldera Rafting yang jempol banget sangat membekas di kami. Suatu saat kami mesti nginep di sini. Suprisingly Caldera Rafting.
 
***

1.4.13

Jajanan (Pasar) Cibodas



Pasar Cibodas memang bukan seperti pasar ‘sungguhan’ yang gelarannya tertentu. Pasar ini ada pas waktu-waktu Cibodas rame. Misal pas pagi ketika banyak para pendaki memulai pendakian ke Gunung Gede-Pangrango atau wisatawan yang datang ke Kebun Raya Cibodas. Tentunya selain banyak cenderamata yang dijual ke wisatawan, menjual sayuran segar dari kebun-kebun petani, dan banyak pula yang menjual jajanan yang nikmat.


Mulai dari yang manis sampai yang asin. Dari yang kenyal sampai yang renyah. Mulai dari yang berair sampai yang garing. Komplit!


Jika jalan pasti akan ditawari untuk mampir ke warung kecil mereka. Cukup melempar senyum jika memang tak berkenan membeli. Memang kadang mereka agak maksa juga untuk membeli, tapi jika menolak dengan ramah dan agak bersikap cuek mereka juga pasti luluh.


Makanan yang dijual juga bisa nawar lagi. Atau bisa beli diluar ukuran yang ditetapkan. Misal beli keripik bayam yang dijual per kilo (kg), jika dirasa satu kilo kebanyakan, bisa nawar seperempatnya. Seperti yang aku lakukan.


Oh ya, keripik bayam ini sangat renyah dan garing. Daun bayam yang ukurannya besar dicelup kedalam tepung yang telah diberi bumbu, kemudian digoreng hingga garing. Katanya daun bayam ini hanya khusus untuk bahan keripik saja, jika dimasak (bikin tumis atau sup) maka rasanya nggak enak.


Oke, sekantong plastik keripik bayam sudah ditangan. Saatnya berlabuh ke jajanan yang lain. 


***