19.12.12

Get Wet and Fun in Citatih



Musim hujan telah tiba. Saatnya main air! Makanya pas ada tawaran buat rafting di Citatih tak pake lama langsung acc alias setuju! Walaupun beberapa daerah lainnya telah dilanda banjir *ikut prihatin* tapi bagiku ini adalah kesempatan buat memompa adrenalin.  Sudah hampir satu tahun tak menjajal petualangan ini.

Aku dan Yanthi serta teman-teman dalam satu rombongan datang ke Cherokee sudah siang, matahari juga sudah mulai diatas kepala. Bukan masalah peserta yang ngaret dari ittinery yang sudah dibuat, tapi memang ada kemacetan antara Ciawi dan Cibadak karena aktifitas pasar. Ketika sampai di Cherokee, kami harus bergegas. Ngantri ke toilet, sementara angkot menunggu kami lama yang akan mengantarkan kami ke station, Cherokee. Plus medan jalan yang aduhai, bikin ajrut-ajrutan. Semuanya gudubrak-gudubruk memakai perlengkapan rafting seperti memakai life vest, helmet, dan memilih dayungnya.


Air sungai Citatih sekarang ini memang volumenya banyak, memang faktor musim (penghujan), terlihat dari arus dan warnanya yang cokelat lumpur. Dan beruntungnya kami, cuaca hari ini sungguh cerah, terbukti dengan langit yang berwarna biru berhias gumpalan awan putih dan sinar matahari yang terang-benderang. Plus perkebunan dan sawah yang hijau, seger ngeliatnya.



Kami sampai di tepi sungai Citatih, Desa Sirnajaya. Di atasnya ada jembatan gantung yang terbuat dari kayu. Under it is start point. Kami dibagi tiga kelompok, kebetulan jumlah peserta ada 15 orang, jadi bagi tiga sudah adil dan cukup satu perahu berisi lima orang, plus satu skipper.


Menurut Herman, skpipper kami, lintasan yang akan kami tempuh sepanjang 9 km. Membutuhkan waktu sekitar dua jam. Dengan grade 3, big, noisy and complex with rock, current an turns dengan moderate danger, pilihan yang pas buat kami dikasih grade ini, maklum masih amatir.

Dari segi jeramnya memang kurang menantang. Jeramnya tak ekstrim, hanya bergelombang besar. Deras, lalu tenang, deras-tenang, deras-tenang, deras-tenang, begitu seterusnya hingga finish. Sepanjang mengarungi sungai, kami melihat jejak-jejak banjir (tumpukan sampah kayu yang hanyut), kira-kira setinggi dua meter diatas kami, juga banyak sekali warga yang memancing. Katanya sungai itu banyak ikan lele-nya. Binatang reptil seperti biawak sempat kami lihat, berukuran kira-kira sebesar lengan orang dewasa, berdiam di atas batu cadas.



Akhirnya kami sampai di finish point, beberapa orang telah menunggu. Mereka inilah orang lokal yang bekerja mengempeskan perahu dan akan dibawa kembali ke station penyedia jasa arung jeram. Penyedia jasa arung jeram memang memperkerjakan orang-orang sekitar, untuk tenaga semacam angkot, jasa pengiriman peralatan rafting ke masing-masing station, massage service, dan skipper. Hmm... simbiosis yang bagus.


Kami sudah ditunggu oleh mobil bak terbuka. Kami diantar kembali ke station Cherokee. Jalanan lumayan, ajrut-ajrutan lagi.

Lelah, sudah pasti. Kelapa muda dan menu makan siang ala buffet sudah siap buat kami santap. Menu khas sunda: ikan emas goreng, ayam goreng, karedok, goreng tempe dan bakwan jagung, plus yang bikin seger sayur asem dan ikan teri. Tak lupa sambal yang pedes dan lalapan mentah. Kombinasi menu yang sempurna. Nikmat!





Perut sudah diisi dan badan sudah bersih. Dan sialnya, ketika mau mandi, aku lupa bawa handuk, tapi untungnya staff Cherokee meminjamkan handuk biru. Nuhun kang! Ada spare waktu buat nyantai, aku manfaatin buat main ke jembatan, start point tadi buat narsis ria.



Hari sudah sore, saatnya kami balik lagi ke Jakarta. Berjibaku kembali dengan kemacetan. One word to describe this experience, PUAS!!!

11.12.12

Beauty of Indonesia (2): Travel Photography Workshop by Goenadi Haryanto



“Jika Anda memotret, maka Andalah kawan saya”

Itulah kalimat pembuka pada workshop Travel Photography (fotografi wisata) yang dipresentasikan oleh Goenadi Haryanto, seorang travel photographer yang sudah tak asing lagi ditelinga kita. Beliau ikut berpartisipasi dalam rangkaian pembukaan Pameran Fotografi Arius Karman, Ruang Meeting Omni Hospital, Alam Sutera, Serpong.


Slide disajikan dengan sangat simpel. Hanya beberapa slide yang berisi ‘tulisan’ sebagai pengantar, selebihnya berupa foto-foto dari perjalanannya. Di pengantarnya, banyak genre travel photography, seperti:
  1. Fotografi alam (nature, sceneries, flora, fauna, wild life, cityscape) yang dapat dikelompokan menjadi alam ciptaan Tuhan dan karya manusia.
  2. Fotografi manusia dan kesehariannya (human interest), street photography, man vs food, dan the working people.
  3. Fotografi budaya, kegiatan atau ciptaan manusia dalam konteks tradisi, festival, perayaan adat dan lainnya.

Lalu sebagai sebuah seni visual, apa kriteria foto yang bisa dikatakan bagus? “Foto bagus adalah foto yang hanya buat diri sendiri, tak ada pembandingnya” ungkapnya. Tentu saja ini hanyalah guyon belaka. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan untuk menghasilkan foto yang bagus:
  1. Memuaskan diri sendiri. Pada saat meng-capture, berarti anda telah memilih sesuatu yang bagus (objek).
  2. The right time, the right place, good light, adn good object. Beliau menceritakan bahwa sebuah objek yang dianggap ‘mengganggu’ dalam tampilan foto yang akan dihasilkannya tak harus objek tersebut diperlakukan ‘tak-bijak’, menebang pohon misalnya. Bahwa faktor lucky-lah yang paling berperan dalam menghasilkan foto yang bagus. Memang saat golden hours (faktor the right time) akan menghasilkan foto yang indah, namun siapa sangka saat hujan pun bisa menangkap momen indah untuk fotografi.
  3. The right equipment. Nggak lucu kan mau motret pemandangan dengan lensa tele? Dan nggak perlu peralatan fotografi yang mahal untuk menghasilkan foto yang bagus.



Beliau juga mengatakan bahwa memotretlah selalu berpegang pada tiga hal: memotret dengan long shot, medium shot dan close up. Dan yang paling penting, setiap foto harus membawa pesan kepada penikmat foto.

Akhirnya presentasi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Cukup antusias pula para peserta yang mengikuti workshop ini.

Sambil makan siang bersama, disisipi pula presentasi travel photography oleh Adhi Rachdian. Kemudian acara ditutup dengan sesi foto bersama (kalau yang ini wajib hukumnya bagi orang Indonesia).





***
Mungkin inilah pengamalan dari workshop tadi. Baru saja keluar dari pintu parkir Omni Hospital, aku dan Niko nongkrong santai sambil menikmati kopi, es krim, dan kentang goreng McDonald. Tak lupa memotret makanan yang kami nikmati sebagai sebuah karya dari travel photography –food- *ngeles!





10.12.12

Beauty of Indonesia (1): Pameran dan Workshop Fotografi oleh Arius Karman



Ditengah-tengah kesibukan tugasnya sebagai seorang tenaga medis, dr. Arius Karman masih sempat menyelenggarakan sebuah pameran foto. Karya-karya Arius Karman ditampilkan dalam pameran tunggalnya di Lobby Omni Hospital, Alam Sutera, Serpong, tempat ia dinas.


Kecintaannya kepada landscape Indonesia, dan ingin berkontribusi terhadap pariwisata Indonesia inilah, yang mendorong ia untuk menggelar pameran fotografi ini. Dengan bertajuk Beauty of Indonesia, perhelatan ini diselenggarakan dari 08-16 Desember 2012.



Memang baru pertama kali aku berkenalan dengan beliau. Dari Niko pulalah aku mengenal sosok dr. Arius Karman. Niko banyak bercerita tentang perjalanan fotografinya dengan beliau ketika mengunjungi Bromo, November lalu. Jadi banyak sedikit aku mengenal ia.



Memang tak umum menyelanggarakan acara seperti ini di tempat seperti rumah sakit. Dalam sambutannya ia mengungkapkan bahwa ingin membuat image rumah sakit seperti tempat yang tidak kaku. Ingin sebagai tempat jalan-jalan, meeting point, dll. Juga keinginan beliau untuk mendukung kegiatan pariwisata Indonesia, yang angka kunjungan turisnya masih kalah dengan negeri tetangga yang kecil, Singapura. Padahal potensi keindahan alam Indonesia lebih dari yang lain. Dan ingin mengenalkan alam Indonesia, selain Bali yang selama ini paling dikenal turis mancanegara.


Sambutan dilanjutkan oleh salah satu Board of Director Omni Hospital, kemudian sambutan dari perwakilan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Bidang Fotografi, sekaligus membuka acara ini. Pada intinya Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sangat mendukung acara ini guna memajukan pariwisata nusantara. Juga hadir fotografer wisata (travel) Goenadi Haryanto.


Sejumlah karya fotografi landscape Indonesia hasil perjalanan dr. Arius Karman ditampilkan. Ini merupakan hasil perjalanannya menyusuri Indonesia: Bromo, Situ Gunung, Sawarna, hingga Bangka-Belitung. Juga ada sedikit foto landscape dari mancanegara, sebagai pembanding bahwa alam Indonesia jauh lebih indah.



14.11.12

Melihat Bandung dari Atas Gedung Sate



Berkunjung ke Gedung Sate memang tidak ada dalam rencana ‘city tour’ kali ini. Ide ke sana tercetus begitu saja dari mulut Andi. Tanpa pikir panjang kami langsung saja menuju ke tempat yang dimaksud.

Ini hari Minggu, siang hari pula. Jelas, Gedung Sate yang merupakan Kantor Gubernur Jawa Barat ini tak tampak kegiatan kepemerintahannya, hanya ada security yang berjaga. Kami melihat ada pula beberapa orang yang foto-foto mengabadikan pose mereka dengan latar belakang bangunan itu.

Andi pun tak tahu bagaimana masuk ke halaman Gedung Sate. Pasalnya, dia pun belum pernah ke gedung yang manjadi ikon Bandung itu. Padahal dia telah tinggal di Kota Kembang itu kurang lebih delapan tahun. Cuape deh...!


Kami mengabadikan gedung nan klasik itu dari luar pagar. Tak lama kemudian seorang security berperawakan langsing-tinggi, menghampiri kami dan menunjukan jalan masuknya. Lucky us! Nuhun Pak!

Oke! Kami masuk lewat gerbang sebelah gedung tersebut. Berjalan di halaman yang luas. Gedung Sate bersanding dengan Gedung PT. Telekomunikasi Indonesia yang klasik, dan juga gedung DPRD.


Kami dipersilahkan masuk, kemudian ditunjukan oleh security untuk naik lift ke Lantai IV. ‘Kenapa harus ke Lantai IV’ pikirku. Okelah... ikuti saja instruksi ‘yang empunya tempat’. Ternyata kami diajak ke lantai paling atas dari Gedung Sate. Disini terdapat beberapa diorama alat-alat musik khas Tanah Sunda, seperti calung. Patung tari-tarian Sunda, pakaian adat, makanan khas, peta wisata Jawa Barat, dan juga foto-foto para Gubernur Jawa Barat dari beberapa periode.






Naik ke tangga lagi, kami langsung menuju pada sebuah balkon gedung itu. Dari ini akan melaihat pemandangan Kota Bandung. Terlihat pula Tugu Pancasila di depan Gedung. Amazing!




Naik sedikit keatas, ada ruangan kecil yang berukuran kira-kira 5 x 5 m, menurut security ruangan ini digunakan oleh Gubernur untuk menyambut tamu-tamunya dinner, sambil menikmati pemandangan Kota Bandung malam hari. Keren!

Kunjungan yang menyenangkan. Apalagi security disini dengan senang hati akan mengantar dan juga akan merangkap sebagai guide ‘tamu’ seperti kami. Tanpa tarikan ini-itu pula (semacam imbalan yang umum di tempat wisata). Kalau masyarakat umum tahu jika masuk Gedung Sate gratis, mungkin akan makin banyak pengujung yang datang. Salut deh buat Gubernur Jawa Barat yang sekarang, masyarakat pun bisa mengunjungi kantor pemimpinnya secara cuma-cuma.

6.11.12

(Jangan) Ke Braga Tanpa Kamera



Seperti kawasan dengan bangunan tuanya, Braga menjadi magnet tersendiri bagi para pecinta fotografi, sebagai salah satu tempat buat hunting foto. Jika di Jakarta ada Kawasan Kota Tua, dengan bangunan peninggalan zaman penjajahan Belanda, maka di Bandung punya Braga. Tak dipungkiri memang, bangunan atau hal-hal yang memiliki nilai historis selalu menarik buat  kegiatan fotografi.


Niatan ke Braga, apalagi kalau bukan buat hunting foto. Aku ditemani Andi yang kebetulan orang Bandung, jadi urusan guide aku serahkan saja ke dia tanpa harus mengandalkan GPS (gunakan penduduk setempat)*. Dia siap sedia buat ngantar aku keliling penjuru Bandung (thaks alot ya!).

Ketika sampai di Braga, tentunya kami disuguhi ‘pemandangan’ bangunan tua yang menimbulkan kesan klasik. Dan banyak pula remaja yang ‘bermain’ dengan kamera mereka. Tak ketinggalan dengan  modelnya.


Di sisi lain, ada segerombolan anak muda dengan menenteng kamera DSLR. Seperti sebuah komunitas fotografi. Mereka sedang asyik hunting foto.


Bukan itu saja, ada pula kelompok kecil pemuda bendandan dengan wajah putih menor seperti pemeran pantomim. Beraksi di depan kamera dengan latar pintu tua sebuah gedung.




Braga memang menyuguhkan spot yang menarik bagi pecinta fotografi, atau pun juga sekedar jalan-jalan. Hal yang sudah umum, tempat yang memiliki bangunan-bangunan tua akan selalu didatangi oleh para fotografer. So, jangan ke Braga tanpa membawa kamera.

*menyebut istilah dari Widhie Bek