24.9.13

[Street Food] Kemang Midnight Dinner


Kawasan Kemang, Jakarta, memang merupakan kawasan prestise bagi warga urban. Berderet butik dan cafĂ© baik yang menyuguhkan menu Barat maupun domestik. Namun sisi lain Kemang, bisa dirasakan atsmosfer yang sederhana dan ‘membumi’. Apalagi mencari makan ditengah malam begini memang bukan suatu hal yang sulit dicari.

Warung lesehan dengan gerobak dan berasal tikar, membuat kami memutuskan untuk menyambanginya. Warung Nasi Bu Hendro, yang menyediakan menu rumahan ala Jawa. Dengan berbagai menu bacem-baceman berwarna cokelat, seperti sate-telur-puyuh, tempe/tahu bacem, teri, kracak, oseng kacang panjang/daun papaya/buncis, juga ada menu urab dengan bumbu kelapanya. Cita rasa manis khas pada masakan Jawa ini mengingatkan diri akan kampung halaman.



Sekedar bersantai, tak ketinggalan Warkop Junko yang berada nyempil dekat minimarket Pom Bensi Pertamina, kami singgahi. Menu spesial di warkop ini adalah ayam bacem bakar. Rasanya manis dari bumbu-bumbu baceman yang meresap, kemudian dibakar hingga matang. Dagingnya sangat empuk. Satu menu berisi nasi putih, sambal dan ketimun. Menu ringan lainnya tak lupa dipesan, roti bakar keju, yang super lembut. Minuman teh tarik, ice chocolate, dan kopi flores menjadi pilihan kami, dan tentunya sangat recommended. Untuk minuman kopi, banyak varian kopi asli Indonesia ditawarkan, seperti kopi dari Aceh, Jawa Timur, Toraja Pasongken, Sumatera Utara, dan Flores.

Menghabiskan malam dan makan malam di Kemang yang membumi adalah patut dicoba. Dijamin tak akan mengecewakan.







***

7.9.13

Domino - Kampung Batik Palbatu


Kalau Solo memiliki Laweyan sebagai kampung batik, maka Jakarta juga memiliki kampung batik pula. Berada di Palbatu, Tebet, Jakarta, Harry dan tiga orang rekannya menggagas sebuah kampung batik. Ide yang muncul dari cita-cita untuk memiliki ‘ruang kreatifitas’ dan sebagai agen ‘pelestari’ budaya sendiri, Betawi.

Awal berdiri sekitar Mei 2010, kampung ini menggelar kirab budaya bertemakan batik. Pentas fashion show untuk anak-anak dengan kostum batik, panggung hiburan pun digelar. Juga mendekorasi aspal jalanan gang-gang Palbatu dan tembok rumah warga dengan motif batik.


Kami masuk ke sebuah rumah mungil dengan atap pendek dan bercat putih. Dari luar tampak seperti studio yang menjual kartu undangan pernikahan. Setelah sebelumnya kami bertanya pada warga sekitar dimana tempat sang penggagas kampung batik Palbatu. Domino, memang menjual kartu undangan pernikahan, terutama dengan desain batik. Sang pemilik, Harry, yang juga sekaligus salah satu penggagas kampung batik Palbatu, sangat welcome menerima kunjungan kami berempat.




Harry sangat antusias menceritakan kepada kami tentang kampung batik Palbatu. Jakarta yang (mungkin) belum memiliki tradisi membatik, membuat Harry sempat medatangkan 20 orang pengrajin batik pada awal berdiri kampung batik, dari beberapa daerah seperti, Jogja, Solo dan Pekalongan. Namun kebanyakan dari Pekalongan. Mengajari warga Palbatu membatik, menggoreskan malam (wax) panas pada selembar kain mori putih-polos, dengan desain unik.


Tak banyak warga yang melanjutkan membatik, menjadi kendala tersendiri. Tak bisa dipungkiri hal ini terkait dengan perihal ekonomi, apa bisa menghidupi keluarga dengan membatik? Mungkin pertanyaan itu, tak berlaku bagi kampung batik di Solo, Cirebon, Pekalongan, dan Jogja, tapi di Jakarta lain lagi persoalannya.

Jika batik dari beberapa daerah memiliki motif yang menjadi ciri khas, semisal Cirebon dengan motif megamendungnya, maka batik Jakarta (batik Betawi –selanjutnya disebut batik Betawi-) belum memiliki karakteristiknya. Bisa dikatakan batik kontemporer. Motif Ondel-ondel, seni Lenong, tanjidor, dan Monas (segala hal mengenai Jakarta/Betawi) menjadi motifnya. Namun sayangnya motif itupun pengerjaanya dilakukan oleh orang non-Jakarta (pengrajin dari Pekalongan) dengan desain motif ‘pesanan’. Tetapi setidaknya, batik Betawi sedang mencari identitasnya.



Bukan hal mudah mewujudkan kampung Batik Palbatu. Awalnya, banyak yang kontra dengan ide Harry. Mengecat tembok di luar ruang juga banyak yang menolaknya, dengan alasan estetika. Proposal yang diajukan pada awal pendirian Kampung Batik Palbatu baik mecari sponsorship maupun perizinan dari instansi terkait, tidak ada satu pun yang tembus. Namun dengan niat dan tekad, dia dan rekannya bisa mewujudkannya, tentunya dengan penuh ‘pengorbanan’.


Ketika masuk ke Palbatu, jauh sekali dari ekspektasi kami. Kampung batik dengan beberapa pengrajin, penjual batik, dan tokoh yang berkecimpung di batik tak dapat kami jumpai. Memang Harry juga mengatakan bahwa ini jauh dari haparannya, namun ini sebagai langkah untuk mewujudkan mimpinya mendirikan Kampung Batik Betawi yang sesungguhnya. Semoga.


***

1.9.13

[Travel In Style] Old Terrace


Siang hari di Jakarta memang bisa bikin meleleh. Jalan-jalan di Kota Tua Jakarta, memaksa diri untuk melipir mencari tempat yang teduh. Pilihan berkunjung ke museum dengan harapan mendapat hawa sejuk ‘buatan’ dari AC yang terdapat diruangan, jatuh pada Museum Keramik dan Seni RupaJakarta.

Sayang untuk kegiatan memotret tidak diperkenankan kecuali di ruang terbuka yang terdapat ditengah bangunan.

T-shirt dan sepatu casual sangat cocok dengan hawa yang panas ini. Menghindari gerah. Sunglasses juga pas melindungi mata dari silaunya sinar matahari. Teras Museum Keramik dan Seni Rupa menjadi pilihan untuk bersantai.








***