17.1.13

Misty of Negarajati



Tak ada rotan akar pun jadi. Yap! Mungkin itulah penggalan pepatah yang menggambarkan perburuan foto sewaktu going home alias mudik, Panimbang, Cimanggu. Niatnya memang mau hunting sunrise di Negarajati, namun rupanya hujan semalam meninggalkan kabut. Tapi tak apa, view kabut juga enak dipandang (baca: menghibur diri).


Sudah berkali-kali spot di Negarajati menjadi tempat andalan hunting foto buatku. Beberapa waktu lalu sempet capture sunset yang aduhai indah banget. Kali ini milih golden hours yang lain, pagi, alasannya siang hingga sore sering turun hujan.

Desa Negarajati yang tanahnya tinggi dibanding daerah sekitarnya, memang menawarakan view desa dan perkebunan pinus yang menawan. Apalagi ditambah suasana yang tenang, kendaraan yang sedikit tentunya. Pemandangan luas bisa dinikmati dengan leluasa.


Setelah subuh, langsung bergegas menuju spot yang dimaksud. Menembus dinginnya udara pagi plus efek hujan semalam. Jalanan aspal juga masih basah. Dan jalanan tanah becek.

Aktifitas warga di Negarajati juga tak seriuh di Cilumuh. Cilumuh merupakan ‘pintu-gerbang’ menuju desa tersebut dari Jalur Selatan Jawa. Hanya terlihat pengendara motor yang sesekali melintas. Sementara itu perkebunan pinus masih membisu.


Kabut putih tipis yang melingkupi area-area sejauh mata memandang. Menutupi pepohonan, bukit, rumah penduduk, dan gunung. Sehingga terlihat samar-samar, menimbulkan kesan sunyi dan tenang.






Menyusuri terus, sampailah di Desa Cisalak. Disini terlihat pemandangan Gunung Slamet di Baturraden, Banyumas. Juga masih diselimuti kabut. Surprise!



Sudah banyak foto-foto yang diperoleh dari spot ini, sejak pertama kali mulai hunting. Semua hasil fotonya memang tak mengecewakan. Tak berlebihan memang jika tempat ini mulai menjadi favorit hunting foto landscape buat diri pribadi (khususnya).

8.1.13

Menikmati Ombak Di Antara Karang Batu Karas



Yuk ke Pangandaran” suara Ibu tiba-tiba membuka sebuah ide piknik keluarga. Aku dan kakakku berpikir sejenak. “Ayo aja” jawabku. Kemudian kami berembug membuat sebuah acara piknik yang asyik buat keluarga. Sudah lama memang keinginan buat ngajak keluarga piknik bersama, apalagi ini pas banget momen di libur akhir tahun.

Kami lalu mulai memikirkan soal transportasi. Ibu langsung menelepon keponakannya (sepupu) untuk meminta bantuan perihal kendaraan yang bisa mengangkut seluruh keluarga, ada tujuh orang: ayah, ibu, kakak dan putranya (ponakan), plus kedua adiku. Tak lama telepon dari sang sepupu mengabarkan bahwa mobil yang kami minta ada. Harga dan waktu sudah deal. “Berangkatnya besok, jam enam pagi” pinta Ibu mengabarkan via telepon pada sang ponakannya.



Pangandaran memang sudah terkenal sebagai objek wisata pantai sejak dulu. Sudah sekitar tiga kali aku mengunjungi pantai ini. Namun Ibu sudah lama tak menjamah pantai ini. Bahkan ponakan dan adiku belum pernah kesana sama sekali (makanya mereka seneng banget). Dan  pertimbangan jarak yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal kami, di Cimanggu, Cilacap. Jadi merupakan pilihan yang tak salah buat piknik keluarga.

Pantai Pangandaran sudah bisa dikatakan bosen buat aku jamah. Sedangkan Green Canyon, rasanya tak mungkin kami kunjungi dengan alasan agak bersifat petualangan, sedangkan yang kami bawa para orang tua dan anak-anak (lebih tepatnya adiku dan ponakan). Maka jatuhlah pilihan pada Pantai Batu Karas. Selain karena belum pernah kami kunjungi juga atas rekomendasi teman yang sudah mengunjungi pantai ini. Cocok buat destinasi keluarga.

Tepat waktu, pukul 05:30-an sang sopir dan mobil yang kami carter datang menjemput kami. Ibu yang sudah menyiapkan bekal piknik juga sudah siap untuk diangkut. Jadilah kami berangkat near on time dari jadwal yang sudah disepakati.

Kami berangkat dan pulang lewat jalan yang sama, via Sidareja, dan keluar di Kalipucang. Pilihan jalur alternatif yang pas. Sebenarnya lewat Banjar Patroman juga bisa, pertimbangan kami, melewati jalan situ bisa dipastikan lebih ‘ramai’ karena ini peak season.





Batu Karas memang agak jauh dari Pantai Pangandaran. Berjarak sekitar 34 km dari Pangandaran, dengan waktu tempuh dua jam. Seperti sudah umum di Indonesia, jika destinasi yang dikunjungi indah pasti perjalanannya penuh ‘perjuangan’. Kondisi jalan sepanjang Pangandaran-Batu Karas, bergelombang, penuh kubangan air mirip kandang babi. Poster protes warga juga terpasang di jalan yang kubangannya lebih buruk, meminta pada para pemimpin negeri supaya memperbaiki jalan tersebut. Fyuh..!

Tiba di Pantai Batu Karas, keluarga langsung menggelar tikar, maklum belum sempat sarapan. Yah... sarapan yang kesiangan atau makan siang yang kepagian, entahlah. Karena aku sudah sarapan, maka langsung ngacir mencari objek buat foto-foto.

Pantai Batu Karas sedang didatangi banyak turis. Karena adanya libur akhir tahun dan libur sekolah. Sehingga banyak sekali para keluarga yang mengunjungi pantai ini. Berenang di pantai merupakan kegiatan yang fardhu ‘ain untuk dilakukan. Walaupun banyak bendera bertuliskan larangan berenang disalah satu spot pantai, namun rupanya sedikit yang menghiraukan peringatan tersebut. Padahal spot pantai yang aman sudah ditentukan.

Selain berenang, juga bisa menikmati banana boats, rolling donuts, body surfing, dan surfing. Tentunya untuk menikmati kegiatan yang memacu adrenalin ini harus merogoh kocek yang tak sedikit. Pastinya, kegiatan yang menantang ini banyak diminati turis remaja.








Satu jam kemudian, kami bertemu kembali dengan keluarga. Kami langsung menuju salah satu spot pantai yang lain. Aku tunjukan pantai menurutku yang indah, karena aku telah survey kecil-kecilan ketika mereka makan tadi. Yang pertama aku tunjukan pantai ‘mungil’ berpasir yang diapit karang. Kebetulan tempat ini sedikit yang mengunjungi sehingga adik dan ponakanku asyik bermain air disini. Serasa milik pantai sendiri!


Pantai yang kedua tentunya juga tak juah beda dengan yang pertama, sama-sama diapit oleh tebih karang. Namun sayang pantainya berbatu sehingga adik dan ponakanku tidak menikmati pantai ini untuk berenang.









Hari sudah siang. Langit mulai hitam mendung. Tak lama kemudian hujan deras turun.
Kami lanjutkan ke destinasi berikutnya. Tentu saja pilihannya spot yang bisa dinikmati dan aman bagi anak-anak. Pantai Pangandaran menjadi destinasi pilihan berikutnya.



Kali ini, Pantai Pangandaran mirip sekali dengan pasar. Hilir mudik banyak turis plus penjual yang menajajakan dagangannya. Mulai rujak beubeuk, jasa sewa kursi (zya ampun, tempat duduk aja nyewa!), sampai sewa perahu.




Langit hitam mendung masih menghiasi langit. Namun antusias wisatawan yang mau menikmati Pantai Pangandaran dengan berenang tak surut. Banyak anak-anak kecil, remaja dan keluarga mandi. Adik dan ponakanku rupanya tak seantusias untuk mandi dibandingkan dengan di Pantai Batu Karas. Alasannya terlalu rame.


Oke deh, waktu sudah sore. Saatnya kami harus pulang. Melewati jalur yang sama ketika kami berangkat tadi. Seneng rasanya bisa ngajak keluarga liburan.

5.1.13

Sungai Cikawung, Kini dan Memori Masa Kecil



Waktu di bangku Sekolah Dasar (SD), aku dan teman-teman sering ke sungai ini. Padusan di sungai, mencari ikan (yang kecil-kecil), katak kecil dan kepiting, membuat ‘candi’ dari pasir, bermain bola, hingga menyusuri sungai.  Dulu sungai ini pernah membanjiri warga dusun Genteng dan sekitarnya, kemudian dengan program peninggian lahan, dusun bebas dari banjir. Namun kini sungai yang membatasai Desa Panimbang dan Desa Bantarpanjang, bukan membanjiri rumah penduduk melainkan mulai mengikis lahan yang dilalui sungai.




Pagi itu, kabut tibis jejak hujan semalam mulai tersingkap. Matahari mulai muncul menyinari. Jalanan sudah becek di sana-sini, namun aktifitas warga sudah menggeliat: ke pasar, kebun, ladang, sawah, bahkan ke sungai (Cikawung) mencari batu.


Dusun Cibubuay, Desa Bantarpanjang, menggeliat di pagi hari. Terlihat seorang bapak memikul batu-batu besar dari sungai. Membawa beban yang kira-kira beratnya mencapai 50 kg. Batu itu ia ambil dari Sungai Cikawung untuk kemudian dipecah hingga menjadi batu split, salah satu bahan baku untuk pengecoran bangunan. Kami tak sengaja bertemu dengan seorang bapak tua. Berkulit hitam, yang mulai keriput. Senyum dan celotehan segarnya membuka pembicaraan kami. Tak berlangsung lama suasana akrab mencair. Bahkan aku dipersilahkan ikut dengannya, sekedar tahu dari mana ia mengambil batu. Namun sayang, kami tak sempat berkenalan.


Ia menceritakan, bahwa sebelumnya ia ikut proyek untuk pembangunan bendungan di sungai Cilumuh, Cimanggu, 11 km dari desanya. Kini, bendungan itu telah selesai dibangun, sehingga ia kembali menjalankan aktifitas seperti biasanya.


Usia memang sudah tak muda lagi. Ia mengeluhkan bahwa perutnya sakit akibat sering memikul beban yang berat. Aku meraba perutnya bagian bawah, ketika ia menunjukan bagian perut yang sakit. Perutnya terasa keras. Entah apa yang ia rasakan waktu sakitnya kambuh.
Tak lama kemudian, suara perempuan di pinggir sungai memanggil si bapak tersebut. Lalu ia bergegas menuju sumber suara sambil memikul batu besar, dan pamit pergi meninggalkanku. Yah... jadi sendiri deh.

Area sungai sudah membesar dibandingkan sewaktu aku masih kecil. Banyak lahan terkikis, sehingga kini mulai dibronjong untuk mengurangi erosi akibat aliran sungai sewaktu volume air membesar. Bekas kikisan sungai yang tak teraliri air dimanfaatkan untuk menanam sayuran seperti jagung, kacang panjang, cabai dan juga kangkung.

Selain bapak yang tadi, terlihat pula lelaki seumuran dengan bapak tadi mengumpulkan batu-batu besar dari sungai. Mencarinya di tengah aliran sungai, dan mengumpulkanya di pinggir sungai.


Anak-anak sudah mulai menaruh kail sederhana. Memancing ikan merupakan kegiatan yang tak hanya anak kecil saja, namun juga orang dewasa. “Ikannya sebesar apa?” tanyaku. Penasaran ukuran ikan yang akan diperoleh. “Cuma sebesar jari” jawabnya. Aku paham, bahwa tak mungkin mendapat ikan yang besar di sungai ini mengingat banyak sampah rumah tangga yang mencemarinya. Prihatin!



Di pagi yang lain, aku mengunjungi Muara (orang situ menyebutnya begitu) pertemuan antara Sungai Cikawung dan Cikondang. Saat itu musim kemarau. Sunrise indah dengan warna keemasan muncul dibalik pohon kelapa. Indah banget.

Aliran sungai memang sedang surut. Namun pada musim kemarau air tak pernah kering. Kebun ‘musiman’ tumpuh disekitar aliran sungai yang surut. Permukaan tanah memang kering, namun dibawahnya basah, stok air untuk akar tak perlu dipusingkan kembali, karena aliran sungai tersebut meresap menembus pasir dan terhisap oleh akar-akar tanaman.


Muara ini merupakan tempat kami bermain bola. Sekelabat gambaran masa kecil melayang di otakku, mengingat memori itu. Juga membuat ‘candi’ dari pasir basah dipinggir sungai. Dan mencari ikan serta kepiting. Kini melihat keadaan sungai tak ada jejak anak-anak masa kini yang asyik bermain dipinggir sungai. Mereka lebih senang duduk di depan layar memainkan stik bermain play station, atau bahkan up date status alay di facebook.

Pencemaran memang menjadi masalah tersendiri. Begitu pun dengan sungai kecil ini. Ada banyak sampah dimana-mana. Seperti menjadi sebuah pemandangan umum. Di sisi lain, masyarakat masih memanfaatkan sungai ini untuk berkebun.