5.1.13

Sungai Cikawung, Kini dan Memori Masa Kecil



Waktu di bangku Sekolah Dasar (SD), aku dan teman-teman sering ke sungai ini. Padusan di sungai, mencari ikan (yang kecil-kecil), katak kecil dan kepiting, membuat ‘candi’ dari pasir, bermain bola, hingga menyusuri sungai.  Dulu sungai ini pernah membanjiri warga dusun Genteng dan sekitarnya, kemudian dengan program peninggian lahan, dusun bebas dari banjir. Namun kini sungai yang membatasai Desa Panimbang dan Desa Bantarpanjang, bukan membanjiri rumah penduduk melainkan mulai mengikis lahan yang dilalui sungai.




Pagi itu, kabut tibis jejak hujan semalam mulai tersingkap. Matahari mulai muncul menyinari. Jalanan sudah becek di sana-sini, namun aktifitas warga sudah menggeliat: ke pasar, kebun, ladang, sawah, bahkan ke sungai (Cikawung) mencari batu.


Dusun Cibubuay, Desa Bantarpanjang, menggeliat di pagi hari. Terlihat seorang bapak memikul batu-batu besar dari sungai. Membawa beban yang kira-kira beratnya mencapai 50 kg. Batu itu ia ambil dari Sungai Cikawung untuk kemudian dipecah hingga menjadi batu split, salah satu bahan baku untuk pengecoran bangunan. Kami tak sengaja bertemu dengan seorang bapak tua. Berkulit hitam, yang mulai keriput. Senyum dan celotehan segarnya membuka pembicaraan kami. Tak berlangsung lama suasana akrab mencair. Bahkan aku dipersilahkan ikut dengannya, sekedar tahu dari mana ia mengambil batu. Namun sayang, kami tak sempat berkenalan.


Ia menceritakan, bahwa sebelumnya ia ikut proyek untuk pembangunan bendungan di sungai Cilumuh, Cimanggu, 11 km dari desanya. Kini, bendungan itu telah selesai dibangun, sehingga ia kembali menjalankan aktifitas seperti biasanya.


Usia memang sudah tak muda lagi. Ia mengeluhkan bahwa perutnya sakit akibat sering memikul beban yang berat. Aku meraba perutnya bagian bawah, ketika ia menunjukan bagian perut yang sakit. Perutnya terasa keras. Entah apa yang ia rasakan waktu sakitnya kambuh.
Tak lama kemudian, suara perempuan di pinggir sungai memanggil si bapak tersebut. Lalu ia bergegas menuju sumber suara sambil memikul batu besar, dan pamit pergi meninggalkanku. Yah... jadi sendiri deh.

Area sungai sudah membesar dibandingkan sewaktu aku masih kecil. Banyak lahan terkikis, sehingga kini mulai dibronjong untuk mengurangi erosi akibat aliran sungai sewaktu volume air membesar. Bekas kikisan sungai yang tak teraliri air dimanfaatkan untuk menanam sayuran seperti jagung, kacang panjang, cabai dan juga kangkung.

Selain bapak yang tadi, terlihat pula lelaki seumuran dengan bapak tadi mengumpulkan batu-batu besar dari sungai. Mencarinya di tengah aliran sungai, dan mengumpulkanya di pinggir sungai.


Anak-anak sudah mulai menaruh kail sederhana. Memancing ikan merupakan kegiatan yang tak hanya anak kecil saja, namun juga orang dewasa. “Ikannya sebesar apa?” tanyaku. Penasaran ukuran ikan yang akan diperoleh. “Cuma sebesar jari” jawabnya. Aku paham, bahwa tak mungkin mendapat ikan yang besar di sungai ini mengingat banyak sampah rumah tangga yang mencemarinya. Prihatin!



Di pagi yang lain, aku mengunjungi Muara (orang situ menyebutnya begitu) pertemuan antara Sungai Cikawung dan Cikondang. Saat itu musim kemarau. Sunrise indah dengan warna keemasan muncul dibalik pohon kelapa. Indah banget.

Aliran sungai memang sedang surut. Namun pada musim kemarau air tak pernah kering. Kebun ‘musiman’ tumpuh disekitar aliran sungai yang surut. Permukaan tanah memang kering, namun dibawahnya basah, stok air untuk akar tak perlu dipusingkan kembali, karena aliran sungai tersebut meresap menembus pasir dan terhisap oleh akar-akar tanaman.


Muara ini merupakan tempat kami bermain bola. Sekelabat gambaran masa kecil melayang di otakku, mengingat memori itu. Juga membuat ‘candi’ dari pasir basah dipinggir sungai. Dan mencari ikan serta kepiting. Kini melihat keadaan sungai tak ada jejak anak-anak masa kini yang asyik bermain dipinggir sungai. Mereka lebih senang duduk di depan layar memainkan stik bermain play station, atau bahkan up date status alay di facebook.

Pencemaran memang menjadi masalah tersendiri. Begitu pun dengan sungai kecil ini. Ada banyak sampah dimana-mana. Seperti menjadi sebuah pemandangan umum. Di sisi lain, masyarakat masih memanfaatkan sungai ini untuk berkebun.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Luar biasa.... keindahan alam yang mulai hilang... meski keindahan masa lalu ta kan pernah hilang