26.6.12

Bermalam Di Cibeo


Sore itu kami sampai juga di Kampung Cibeo, salah satu kampung Suku Baduy Dalam. Kami melewati beberapa rumah panggung khas Baduy. Aku duduk diteras rumah salah satu Suku Baduy, dimana kami akan bermalam. Sapri, sang empunya rumah, dengan ramah mempersilahkan kami memasuki rumahnya. Aku hanya menjawab masih ingin rebahan sekedar melenturkan otot kaki yang pegal setelah perjalanan kurang lebih tiga setengah jam, menempuh jarak 12 km, dengan tracking start naik-turun bukit dari Ciboleger.

Gadis Baduy Luar.






















Kaki serasa ingin bernapas, segera aku membuka sepatu gunung dan kaos kaki. Aku duduk santai diteras depan rumah panggung, yang didominasi material bambu tanpa paku, hanya menggunakan tali dan pasak yang kuat. Telapak dan jari kakiku memutih setelah seharian ‘terbungkus’ oleh sepatu yang basah karena keringat plus air hujan ketika diperjalan tadi. Hujan sempat mengguyur ketika tracking. Kami sempat pula berteduh disalah satu saung orang Baduy Dalam.

“Bapak tinggal disini?” tanyaku, saat kami berteduh disaung yang berdiri sendiri ditengah hutan, dari guyuran hujan. Satu keluarga itu, yang terdiri suami, istri dan kedua putranya, memang tidak tinggal di rumah panggung itu. Mereka mendirikan saung dan tinggal sendiri di tengah hutan. Bukan mereka diasingkan atau sedang kena sangki adat, seperti yang aku pikirkan, itu karena meraka sedang berladang. Biasanya dalam bercocok tanam mereka akan menggarap dan merawat apa yang mereka tanam dan menginap berhari-hari tinggal di saung sendiri jauh dari penduduk lainnya, hingga selesai panen.

Salah satu Kampung Baduy, dilihat dari atas bukit.

Danau Ageung.

Perkampungan Baduy Luar yang berbatasan dengan Baduy Dalam.











































Area tracking yang naik-turun bukit, sehingga tak membosankan. Ditemani dengan pemadangan luas dan ladang-ladang Suku Baduy. Sesekali pula kami sempat bertemu dengan Suku Baduy yang sedang menggarap ladangnya.

Aku masuk ke rumah Sapri. Gani yang sudah lima kali berkunjung ke Baduy Dalam, dan ini adalah kunjungan keenamnya, mempersilahkan kami. Sementara itu Niki dkk, teman satu tim kami, belum juga sampai. Sapri, empunya rumah, menyuguhkan minuman kepada kami, dia menuangkan air putih hangat asli dari sungai di sekitar Kampung Cibeo kedalam mangkuk berwarna putih kecil, persis mangkuk wedang sekoteng. Selain itu dia menyuguhkan gula kelapa buatan mereka sendiri, yang diletakan di dalam toples yang terbuat dari polietilen. Juga ada asam kanji, seukuran kancing, berwarna hitam. Aku mencicipi air hangat yang disuguhkannya. Sementara yang lain menuangkan gula kelapa kedalam mangkuk tersebut. Aku sengaja tak mencelupkan gula tersebut kedalam minuman, hanya untuk mecicipi rasa air sungai alami rebusan orang Baduy. Rasanya tentu saja berbeda jauh dengan air mineral, ada sensasi sangit dan ‘aroma’ kayu bakar (tungku pembakaran). Very traditional.

Niki dkk datang. Mereka bergabung dengan kami. Menikmati sambutan dan suguhan hangat ala Baduy Dalam.

Setelah mandi ala Baduy di sungai dekat Kampung Cibeo (sebagai catatan, Baduy Dalam tidak memiliki sumur, mereka memanfaatkan sungai untuk keperluan hidup sehari-hari: minum, mencuci, dan mandi) kami bergegas menuju ke rumah Sapri. Seperti apa yang dikatakan orang Baduy, kami tidak boleh menggunakan sabun, sampo, dan pasta gigi saat mandi, baik di sungai atau pun di pancuran. Bagaimana badan ini bisa bersih kalau begini? pikirku. Aku memperhatikan salah satu lelaki Baduy yang sedang mandi (tentu saja mereka mandi tidak telanjang bulat). Mereka membersihkan badan dengan sabut kelapa, dan sesekali dengan batu kali. Maka aku pun membersihkan badanku dengan batu kali. Dingin menyergap ketika masuk kedalam air sungai. Berendam dengan dinginnya sungai sore hari setelah hujan dengan kaos yang basah diperjalanan tadi.

Malam datang, gelap mulai menutupi. Sang empunya rumah dan anaknya sibuk di ‘dapur’ menyiapkan makan malam. Aku perhatikan bukan kaum Hawa yang memasak, namun sebaliknya. Sementara istri Sapri sibuk dibalik bilik, ruang lainnya, dengan anak kecilnya yang baru berumur kira-kira satu tahun. “Ya kami (pria) memang harus bisa memasak. Dari kecil kami sudah diajari memasak. Laki-laki dan perempuan harus bisa memasak” jelasnya, ketika aku ‘menyelidiki’ apa yang menjadi pertanyaan dipikiranku. Aku mendekat ke Sapri yang sibuk di dekat tunggu, menanak nasi dan menggoreng nugget yang Gani bawa untuk makan malam kami bersama. Tungku itu beralaskan tanah liat, karena ini adalah rumah panggung yang didominasi bambu. Api yang menyala benar-benar dijaga, selain faktor keselamatan dari kebakaran tadi juga karena memasak benar-benar dengan panas pas supaya masakan tidak gosong dengan kematangan tertentu.

“Jika satu rumah kebakaran, sekampung bisa kebakaran” katanya, menjelaskan pengalamannya beberapa waktu yang lalu. Karena rumah panggung Baduy yang terbuat dari material yang mudah terbakar dan jarak antar rumah yang hanya berjarak sekitar satu meter. Rumah panggung Baduy Dalam memang semuanya terbuat dari bahan alam. Pondasi batu, tiang kayu penyangga dipasang tegak kokoh diatas batu. Lantai rumah dari bambu yang dibelah, dan ‘disayat-sayat’ (talupuh). Bilik rumah dari anyaman bambu, dan atapnya dari daun kirey, sejenis pohon palem.

Kampung Cibeo, memiliki rumah pangung sekitar 98 rumah. Satu rumah bisa terdiri dari dua keluarga, suami istri, dan anak juga menantu. Jadi satu rumah bisa diisi lebih dari enam orang. Mereka dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut Pu’un. Pu’un sendiri dibantu oleh Jaroo (wakil Pu’un) dan sembilan Baresa. “Baresa itu kayak menteri” Sapri menjelaskan kepada kami dengan memberi perumpamaan. Pu’un sendiri tidak harus orang yang ‘berumur’. Bahkan umurnya bisa masih muda (Sapri tidak menjelaskan rentang umur berapa yang disebut masih muda tersebut, namun dia menyebutkan Pu’un yang sekarang berumur dibawah umurnya yang menginjak 50-an tahun). Pu’un memang harus dipegang oleh orang yang masih memiliki keturunan Pu’un, walau pun orang yang tak memiliki keturunan Pu’un bisa diangkat menjadi Pu’un. Pu’un tinggal dirumah yang khusus. Artian khusus bukan bentuk fisik bangunan yang berbeda namun posisi atau letak rumah tersebut. Rumahnya dekat dengan pelataran yang mengelilingi kampung. Halaman berumput kecil yang hijau. Jika akan mengunjungi Pu’un maka harus meminta izin kepada Jaroo. Tak sembarangan orang mengunjungi Pu’un begitu saja.

Sudah umum diketahui, Suku Baduy Dalam memang memiliki tradisi yang sangat kontras dengan masyarakat pada umumnya. Banyak aturan yang tak umum, seperti tidak boleh naik kendaraan (kereta, mobil, motor, becak, sepeda, kereta, pesawat, dan perahu), tidak boleh memakai sandal dan alas kaki lainnya, tidak boleh makan daging kambing, tidak boleh menonto televisi atau mendengaarkan radio. Berpakaian sama, hitam atau putih (tidak ada pakaian yang berwarna-warni), dan kain samping sebagai ‘celana’, memakai ikat kepala berwarna putih. Tapi untuk soal makanan selain daging kambing mereka tak ada pantangan apapun, bahkan makanan olahan dari pabrik modern sekalipun.

Senyum Baduy Dalam.






















Jika sakit, mereka memiliki obat alami sendiri. Batuk misalnya, mereka akan mengambil air yang ada diantara buku-buku bambu muda. Jika demam atau panas, maka akan diberikan rebusan daun rambutan dan pucuk daun salak.

Sebagian besar mereka bercocok tanam. Padi (padi gunung), rambutan, jahe merah, durian, kacang-kacangan, kopi, cengkeh, dan asam kanji adalah contoh hasil bercocok tanam. Hasil alam lainnya seperti madu dari bunga durian dan gula kelapa. Untuk sumber hewani biasanya dari daging ayam yang mereka pelihara sendiri, bahkan kadang berburu kancil. Untuk ikan mereka membeli sendiri di Ciboleger. Untuk durian dan madu biasanya mereka jual keluar Baduy, di sekitar Ciboleger. Kadang untuk madu mereka jual kepada para pengunjung.

Menjemur cengkeh, Baduy Luar.

Lumbung padi, Kampung Gajeboh, Baduy Luar.





























Mereka juga memiliki hari besar, Kawalu namanya. Biasanya mereka rayakan dengan berkumpul di pelataran dekat kediaman Pu’un. Berkumpul dan makan bersama, dengan makanan yang mereka bawa masing-masing dari rumah.

Ditemani cahaya temaram sumbu kain yang menyala di mangkuk kecil dengan bahan bakar minyak kelapa kami makan malam bersama. Lesehan melingkari hidangan yang tersedia. Nasi yang ditanak secara tradisional, nugget goreng, ikan asin, dan mie rebus. Dengan ramahnya mereka mempersilahkan kami mengambil suguhan yang telah dihidangkan. Satu per satu dari kami mengambilnya. Mereka tak akan mengambil makanan sebelum semua tamu mengambilnya. Sungguh jamuan yang sangat spesial bagiku. Soal rasa memang sedikit hambar, tapi aku memaklumi, kehidupan yang jauh dari laut (sulit mendapatkan garam), telah mempengaruhi cita rasa kuliner mereka.

Setelah makan malam kami santai sejenak diteras rumah. Bercengkrama dengan teman yang lainnya. Malam itu sungguh gelap, berbeda dengan kehidupan kota yang hingar-bingar. Bahkan untuk melihat ‘tembok’ rumah tetangga saja yang jaraknya sekitar satu meter dihadapan kami, kami kesulitan melihatnya jika tak ada secercah cahaya sedikit pun. Yang ada hanya hitam.

Tak lama kemudian aku menuju ke dalam rumah. Sejak sore tuan rumah telah menyiapkan bantal yang kumal untuk tidur. Beralaskan tikar daun pandan, dengan jaket tebal, aku memposisikan diri untuk beristirahat, bermalam dengan tenang, jauh dari kehidupan modern. Gelap. Semakin lama semakin gelap, aku terhanyut kedalam dunia lain. Di Kampung Cibeo, di tengah hutan, jauh dari peradaban modern.

Kerajinan Baduy Luar dan madu Baduy Dalam.

Dua generasi Baduy Luar.

Tidak ada komentar: