“Saya pernah jalan kaki
ke Jakarta” ujar Juliarna tentang pengalamannya berjalan kaki dari Kampung
Cibeo, Baduy Dalam ke Jakarta. “Yang bener!?”
tanya aku heran. Terang saja jarak antara Kampung Cibeo dan Jakarta bukan hal
umum untuk dilakukan dengan perjalanan tanpa kendaraan alias jalan kaki.
Bedanya jalan dengan orang Baduy |
Wanita pun berjalan pula |
Armani, mengaku pernah berjalan kaki ke Jakarta |
Persis sama dengan
pengalaman Juliarna, Armani pun begitu. Pagi di Kampung Cibeo sangat cerah.
Udara pagi cukup dingin, sehingga aku memakai jaket tebal. Aku duduk di teras
rumah Sapri. Bercengkrama dengan Armani, putra Sapri. “Saya sudah ke Citra
Gran, Cibubur, dengan jalan kaki” kenang Armani. “Oh ya?!” timpalku. Yang ini
memang mulai percaya, sejak apa yang diceritakan Juliarna bahwa ia pun sudah ke
Jakarta dengan berjalan kaki.
“Ke (rumah) siapa?”
tanyaku.
“Ke temen”
“Berapa hari jalan dari
sini (Cibeo)?”
“Tiga hari”
“Trus selama perjalanan tiga hari nginep di mana (untuk istirahat)?”
“Ya... di mana saja, bisa
di mushola”
“Trus kalo diajak jalan-jalan sama temennya (yang dikunjungi), mau naik kendaran? Misal mau diajak ke
Taman Mini (TMII) gimana?”
“Oh tidak. Kami tetep jalan. Kami tak boleh naik
kendaraan. Saya pernah diajak ke Taman Mini, ya jalan kaki, nanti pas di lampu-merah
kami ditunjukin harus jalan ke arah
mana”.
Mungkin ini bukan hal
yang umum bagi kebanyakan orang, berjalan kaki menempuh bermil-mil jauhnya
tanpa alas kaki, namun bagi Suku Baduy Dalam, hal ini sudah biasa. Aturan adat
yang melarang orang Baduy menaiki kendaraan membuat mereka berjalan kaki untuk
segala kegiatan mobilitasnya.
Orang Baduy selalu
melakukan kunjungan balasan kepada para wisatawan/pengunjung, hanya sekedar
untuk bersilaturrahmi. Gani yang telah berkunjung ke Baduy lima kali, maka
mendapat kunjungan balasan dari orang Baduy sebanyak lima kali pula.
Setelah sarapan usai,
kami berpamitan pada tuan rumah, Sapri. Track
yang kami lalui saat pulang berbeda dengan track
kemarin saat kami datang. Kali ini kami melewati beberapa kampung Baduy. Banyak
hal yang kami temui di track ini.
Mulai dari lumbung-lumbung padi Baduy Dalam, saungnya Juliarna di lahan
bercocok tanamnya yang baru dibangun, hingga kampung Gajeboh, melewati beberapa
sungai, bahkan binatang melata si kaki seribu juga kami temui dijalan.
Istirahat di teras salah satu rumah Baduy Luar |
Perempuan Baduy Luar yang sedang mencuci di sungai Kampung Gajeboh |
Si Kaki Seribu |
Jika kami membutuhkan
waktu untuk tracking ke Ciboleger
dalam empat jam, maka suku baduy Dalam bisa satu hingga satu-setengah jam.
Hebat!
Jika diperhatikan,
perkampungan Baduy tak jauh-jauh dari sungai. Antara lain Kampung Cibeo dan
Kampung Gajeboh juga dekat dengan sungai. Entahlah kenapa bisa begini.
Di kampung-kampung Baduy
yang kami lewati selalu ada teko logam dan beberapa gelas diteras rumah. Berisi
air minum. Tadinya aku pikir minuman itu tidak diperuntukan untuk orang lain.
Namun melihat Juliarna dan Armani mengambil minuman itu dan segera meminumnya,
dan tak ada teguran atas minuman itu dari sang empunya rumah. Rupanya Orang
Baduy memang sengaja menyediakan air di dalam teko dan gelas diteras rumahnya, memang
disediakan bagi siapa saja (wisatawan/pengunjung) yang jalan.
Menikmati minuman yang disediakan oleh Warga Baduy |
Begitu pula di Kampung
Gajeboh. Bahkan ini agak istimewa. Minuman jahe dan gula kelapa sengaja
disediakan diatas bambu yang telah dilebarkan. Mereka sengaja menyediakannya
bagi wisatawan/pengunjung.
Itulah Baduy, ramah,
bersahabat, dan bersahaja, juga pejalan tangguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar