Pagi dini hari masih
gelap, namun suasana di Persinggahan
Kandang Badak sudah ramai. Riuh bukan dari tenda kami saja, namun juga
tenda-tenda yang lainnya. Udara subuh-subuh ini sungguh membuat setiap pendaki
harus menyematkan jaket tebal, sarung tangan dan kupluk. Satu per satu peserta
kami keluar tenda, sesuai rencana, sekitar jam empat pagi harus siap untuk summit attack ke Puncak Gunung Gede, untuk berburu sunrise.
Aku keluar tenda,
teman-teman yang lain sudah berkumpul dibawah flysheet yang sekaligus digunakan untuk tempat berkumpul, makan,
dan memasak. Lazuardi ‘Brewok’ sudah siap mengantar para peserta. Erik sudah
siap membantu. Erik berkali-kali mengajakku ke Puncak Gunung Gede. Aku
menolaknya, karena niat awalnya memang tak akan summit attack dengan pertimbangan tanjakan yang curam (ingat
Tanjakan Setan-nya).
Kami tergabung dalam
komunitas mendaki gunung. Ada sekitar 27 peserta yang ikut. Aku bukan pendaki
gunung sejati atau pecinta alam yang membenamkan diri dalam kegiatan pendakian.
Beberapa pekan yang lalu Lazuardi ‘Brewok’ mengajakku naik Gunung Gede bareng
dengan para pecinta alam. Plus Erik juga meracuniku untuk ikut kegiatan ini. Sungguh
tawaran yang susah ditolak.
Memang tak semuanya ikut summit attack, beberapa juga ada yang
tak tertarik untuk hal itu, entah apa alasannya. Peserta yang mau summit attack berkumpul dan berdoa. Dan
segera mereka bergegas menuju ke Puncak Gunung Gede. Aku sengaja menitipkan
kameraku ke Erik, dengan harapan dia membawa oleh-oleh gambar amazing sunrise di puncak sana.
Para summitter sudah pergi. Yang lain masih meringkuk di dalam tenda,
untuk menghindari dinginnya udara gunung di pagi hari. Aku dan Endang Herman atau
yang akrab dipanggil Emon duduk di bawah flysheet.
Emon merapihkan gelas bekas teh, kopi, dan susu hangat yang tadi dinikmati para
summitter untuk mengusir dingin.
Pagi masih gelap. Bintang
di langit masih bertaburan. Bulan tua yang berbentuk sabit masih terang di
langit timur, terhalang sedikit oleh pepohonan. Hawa dingin juga masih menusuk
tulang.
Merujuk ke pembagian
tugas, sementara mereka ke Puncak Gunung Gede, Emon diminta menyiapkan sarapan.
Dia didaulat menjadi porter, tapi bukan porter yang kami sewa melainkan oleh
Pasutri, salah satu peserta yang membawa keluarganya. Aku dan Emon, bukan kali
ini kenal. Aku mengenalnya ketika hiking
ke gunung tersebut September tahun lalu bersama rekan-rekan dari Akar Rumput Adventure (ARA). Sosoknya memang sederhana dan selalu rendah
hati, juga suka menolong.
Dia bercerita panjang
lebar tentang pengalamannya menjadi porter. Banyak sudah yang memakai jasanya,
baik dari kalangan biasa maupun dari kalangan media, seperti Trans TV, Trans 7,
dan yang terakhir bersama kru dari Metro TV. Mungkin sudah banyak orang yang
mendaki ke Gunung Gede-Pangrango bareng
dengan dia. Bahkan ada yang menyerahkan sepenuhnya segala urusan logistik dan
angkat-mengangkat barang menuju puncak gunung kepadanya. Mereka begitu percaya
terhadap service-nya. Aku pun tak
memungkiri hal ini, menurutku dia memang profesional. Pengalamanku kemarin,
memang memuaskan sekali, tiba di tujuan camping,
tenda sudah berdiri alias tinggal ditempatin,
bahkan didalamnya sudah disediakan sleeping
bag. Minuman hangat sudah siap sedia, bahkan bisa milih, kopi atau teh. Soal makanan, sama enaknya dengan makanan di rumah,
tidak seperti pendaki lain yang biasanya hanya bawa makanan instan, lauk-pauk
seperti tempe/tahu goreng, ikan asin, tumis sayuran, sup sosis dan baso, juga
nasi liwet, siap santap, bahkan ditambahin
buah-buahan pula.
Namanya juga taman
nasional, pasti memiliki keunikan flora dan faunanya. Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) ini memang memiliki
banyak sekali floranya. Aku bahkan sesekali memotret hijaunya dedaunan.
Lumut-lumutan, aneka pakis, dan jenis paku-pakuan yang menempel di pohon tumbuh
subur di lingkungan higrofit. Pohon-pohon besar juga ada. Bunga dari
semak-semak juga sungguh indah. Bunga edelweis banyak tumbuh di Surya Kencana.
Bahkan Erma sempet nemuin dandelion. Cantigi
mendominasi Puncak Gunung Gede. Sedangkan untuk fauna banyak sekali dijumpai
burung dan primata. “Bahkan macan, rusa, dan babi hutan juga ada.” kata Emon.
Dia bercerita pengalamannya camping dilewatin oleh kucing besar. Waktu itu
bukan musim camping dan dia camping saat weekdays yang biasanya tak seramai camping ketika weekend.
“Kalau camping tidak rame mereka (hewan) bisa lewat tenda
kita. Tapi kalau rame kayak gini nggak”
terangnya.
Air menjadi faktor yang
penting bagi pendaki atau yang berkemah. Makanya banyak yang camping di sekitar Kandang Badak atau Alun-alun Surya Kencana. Jika di
Kandang Badak ada pancuran air, sedangkan di Surya Kencana sumber air berasal
dari kali kecil. “Kalau camping di
Puncak (Gunung Gede) airnya dari mana Om?” tanyaku, karena sepengetahuanku di
Puncak tidak ada sumber air. “Ya turun ke bawah, ke Surya Kencana” jawabnya.
Keunikan cuaca juga bisa
ditemui di Surya Kencana. Emon pernah menjumpai bulir-bulir salju atau es di
atas rerumputan. Pengalaman tersebut dia jumpai ketika membawa kru Metro TV
beberapa pekan lalu. Suhu pagi itu saat salju ada yakni -2°C.
TNGP memiliki keindahan
alam yang menurutku amazing, dan
mungkin komplit. Jika mendaki melalui Jalur
Cibodas seperti yang kami lalui akan menemukan banyak sekali spot yang menarik. Ada Telaga Warna yang tenang. Riaknya curug
air panas akan kita lewati, sebelum
melintasi Kandang Batu. Ini sekaligus juga sebagai jalan satu-satunya yang
melintasi air terjun. Air Terjun
Cibeureum juga sebetulnya kami lalui, namun aku tak pernah singgah ke air
terjun tersebut karena jalurnya yang jauh dari jalur pendakian. Juga ada air
terjun kecil setelah Kandang Batu.
Hutannya masih cukup alami dengan lumut yang menutupi batang pohon.
Pagi mulai merekah.
Siluet Gunung Pangrango di depan tenda kami perlahan-lahan mulai pudar, menampakan
wajah ‘aslinya’ karena terkena sinar matahari. Kami memulai tugas, Emon segera
menyiapkan menu sarapan. Pertama kami merebus air. Kemudian memasak nasi. Aku
membantu menggoreng dua bungkus otak-otak dengan mentega. Emon dengan cekatan
menumis sayuran di atas trangia. Mengiris buncis dan cumi. Juga memasak ikan
sarden dan menggoreng telur dadar. Keluarga Mba Retno keluar tenda, mereka
tampak kelaparan dan mencari tabung gas dan kompor kecil yang sedang kami
pakai. Aku meminta mereka bergabung dengan kami. Segera aku merebus air dan
memasak mie instan pesanan mereka. Bismar yang setenda denganku ikut gabung.
Dia tak bisa tidur nyenyak semalam. Ngakunya,
pinggangnya sakit karena tidur beralaskan batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar