11.7.13

Yoga & Traveling, Refreshing The Body and Soul


Matahari mulai menuju peraduannya. Tertutup awan yang seharian redup. Perahu kecil kami bersandar di dermaga Pulau Bira Besar, Kepulauan Seribu. Lima belas orang peserta yoga segera menggelar yoga-mat di atas dermaga kayu itu. Membujur dua baris, mengikuti alur dermaga yang panjang, dengan saling berhadapan antar dua kelompok, menghadap kepada Master sebagai center-nya.


Walaupun ada perahu yang bersandar, sehingga tidak menikmati temaramnya sinar matahari sewaktu terbenam, peserta yoga cukup antusias. Padahal sinar matahari inilah yang dinantikan mereka. Master Slamet, sebagai pemandu yoga memimpin ‘ritual’ yoga kali ini. Diiringi alunan irama musik (yang terdengar seperti lirik India) dari tape potable-nya. Sesekali member instruksi tentang gerakan-gerakan yoga yang slowly.



Semua peserta ‘khusyuk’ dan hanyut dalam irama dan gerakan yoga. Tak ada letih sedikit pun dari wajah mereka, padahal telah menemupuh perjalanan dari Jakarta-Pulau Harapan, dan ber-snorkeling sebelumnya di dua tempat.



Pagi hari pun, team melakukan yoga kembali. Kali ini dipandu oleh Bagus dan Iin. Bertempat di Pulau Bulat. Dengan pohon yang masih rimbun, dan udara laut yang segar membuat suasana mendukung. Sayangnya, sinar matahari tak muncul, karena tertutup awan.





Masih satu rangkaian dengan yoga, yakni meditasi. Malam hari team melakukan meditasi di pantai Pulau Harapan. Tengah malam team menuju plataran dekat pantai. Dipimpin oleh Wati, perempuan bersahaja dan tenang. Yoga-mat kembali digelar membentuk lingkaran. Lilin dinyalakan, sedangkan lilin aromatik (aroma daun sereh) diletakan mengitari peserta. Hening, menyatu dengan alam dan melepaskan segala beban.



Yoga memang berasal dari India, berkembang ke penjuru dunia. Yoga biasanya dilakukan untuk pengobatan alternatif, utamanya dilakukan dengan latihan pernapasan. Gerakan-gerakan yoga juga baik untuk kesehatan seperti fleksibilitas dan kekuatan tubuh, mengembangkan otot, mencegah nyeri, serta memperlancar pernapasan. Sedangkan manfaat bagi mental, seperti ketenangan mental, mengurangi stres, dan kesiagaan tubuh. Seperti diungkapkan Rusti, salah satu peserta yoga, dengan yoga berat badannya turun mendekati berat badan ideal.

Sejatinya yoga bisa dilakukan dimana pun, baik indoor maupun outdoor. Beryoga sambil traveling merupakan pilihan untuk memadukan yoga dan jalan-jalan, refreshing the body and soul. “Baru kali ini saya yoga di pantai. Apalagi baru pertama kalinya mencoba snorkeling” papar Rusti kembali.



***

3.7.13

Pasir Hitam Krakatau


Pemandangan pantai Anak Gunung Krakatau memang berbeda dari beberapa pulau di sekitarnya, pasir berwarna hitam. Bukan hitam biasa seperti pasir pantai lainnya, namun pasir yang hitam legam. Pemadangan ini membentang sepanjang pantai di Anak Gunung Krakatau.


Subuh-subuh, kami menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari Pulau Sebesi. Langit fajar, udara lembat, dan bau laut, menemani perjalanan kami. Perahu kami bersandar di salah satu pantai. Kepala perahu langsung mendarat tepat di bibir pantai, menjejak pasir hitam. Tali berserat berukuran jempol tangan orang dewasa dijulurkan dan diikatkan pada pohon pinus. Kami segera turun dari perahu melalui tangga kecil setinggi 1,5 meter. Di sekitar terdapat pos pemantauan aktivitas vulkanik Anak Gunung Krakatau.


Kami menulusuri jalanan setapak berpasir. Pohon-pohon ‘baru’ tumbuh di kanan-kiri. Pemandangannya memang seperti ‘hutan baru’. Tak ada pohon berukuran besar dan tua. Banyak pucuk-pucuk bakal daun muncul pada pohon. Kebanyakan memang pohon pinus. Asli tumbuh sendiri atau memang ada yang sengaja menebarkan biji benih pinus disini, entahlah?


‘Hutan baru’ memang tak luas, tak lama kami melangkah sudah berada pada area yang mulai menanjak, menuju ke atas gunung. Hamparan pasir hitam sisa aktifitas vulkanis Anak Gunung Krakatau membentang hingga puncaknya. Beberapa pohon mati kering tak tahan oleh bara lava gunung. Batu-batu tajam berserakan. Jejak tumbukan di atas pasir menandakan hantaman dari batu lava yang dimuntahkan Krakatau. Bukan main ukuran cuy!


Aku jadi teringat akan pasir dari erupsi Gunung Merapi di Jogja beberapa waktu lalu. Banyak masyarakat memanfaatkan pasir vulkanis tersebut untuk bahan bangunan. “Kok nggak ada yang memanfaatkan pasir dari (hasil muntahan Anak Gunung) Krakatau Pak” tanyaku penasaran pada nahkoda perahu yang mengantarkan kami. Seperti yang kita ketahui bahwa pasir vulkanis sangat berkualitas terutama untuk bahan bangunan. Dia menjelaskan bahwa tak ada warga yang berani mengambil pasir vulkanis dari Krakatau, karena akan ditimpa kesialan. “Dulu pernah ada perahu besar mengambil pasir, tapi entah kenapa selalu tenggelam. Bukan hanya sekali mas” jelasnya.


Kami mulai trekking. Sekali menjejak, pasir turun sedikit, sehingga terasa berat. Di titik yang diperbolehkan mendekat Krakatau terbentang alam yang sangat indah. Puncak Anak Krakatau terasa dekat, dengan sesekali asap putih tipis keluar. Di depan kami ada Pulau Rakata (1.400 Ha), sebelah kanan Pulau Sertung (1.064 Ha), dan sebalah kiri Pulau Panjang (320 Ha). Pulau Panjang memiliki luas yang sama persis dengan Anak gunung Krakatau. Puncak Anak Gunung Krakatau berjarak dengan kami ada lembah seperti akibat amblasnya gunung.



Bagi sebagian orang membawa oleh-oleh dari suatu destinasi merupakan hal yang akan menjadi ‘bukti otentik’ bahwa orang tersebut pernah mengunjungi tempat tersebut. Aku melihat orang lain mengambil batu kecil dari gunung Krakatau, namun dilarang oleh yang penjaga gunung. Entah apa alasannya. Mungkin karena hal mistis ‘tadi’ kah? Atau ini salah satu upaya pelestarian Cagar Alam Anak Gunung Krakatau, sehingga dilarang membawa pasir/kerikil hitam atau apapun yang ada di cagar alam tersebut, SEKECIL APAPUN, untuk dibawa sebagai ‘kenang-kenangan’.



Semoga dengan upaya yang gigih tersebut mampu menjaga ‘generasi’ Krakatau yang sedang tumbuh, akan kelestariannya.

***