2.6.12

Monas Suatu Pagi: Seni Kuda Lumping Debus


Kelompok pertunjukan Seni Kuda Lumping Debus.















Wajahnya polos. Dengan tenang dia menuju ke tengah-tengah diantara lingkaran penonton. Gadis cilik itu sepertinya nrimo akan apa yang dihadapinya, pasrah mau diapain juga. Tak ada raut muka rasa takut atau was-was bahkan memberontak. Pemuda jangkung segera melakukan eksekusi. Kain putih dengan ikat disisakan di kedua ujungnya. Wajahnya dibiarkan terbuka sehingga seperti menyerupai pocong. Setelah kain menutupi tubuhnya, pemuda itu kemudian melilitkan tali ikat dari leher hingga kaki, yang hampir bisa dikatakan tak ada cara untuk membebaskan diri, dengan bentuk tali-temali yang mungkin dikatakan khusus, alias bukan tali mati. Kemudian gadis itu dibaringkan diatas lantai, topeng barong diletakan diatasnya. Sang ketua pertunjukan duduk jongkok dengan tangan kanan memegang muka gadis itu, diam sejenak dan mulut komat-kamit seperti memberi jampi-jampi. Sementara itu, pemain yang lain menyiapkan sebuah tenda kecil dari kain putih. Gadis kecil itu pun tak lama kemudian dipindahkan kedalam tenda, ditutup, dan ditinggal begitu saja, sedangkan pemain lainnya terus melanjutkan pertunjukan yang lainnya.

Dengan sikap pasrah, gadis cilik ini siap menunjukan aksinya, membebaskan
diri dari lilitan tali.














Pagi itu, matahari sudah sepenggalah naik. Cuaca yang cerah di Monas menarik orang untuk menikmati Minggu pagi dengan bersantai ria. Ada yang lari pagi, bersepeda, bermain drum-band, menyalurkan hobi, fotografi, bermain bulu tangkis, bermain bola, atau sekedar duduk-duduk. Membaca dan menikmati cemilan yang dibawa dari rumah, atau sekedar menikmati kudapan ringan khas daerah.

Di sudut plataran Monas, kerumunan orang berbentuk melingkar menarik kami* untuk menghampirinya. Seni daerah (tentunya bukan seni tradisional dari Betawi) sedang digelar. Tabuhan genderang dan gamelan dimainkan sehingga suaranya menggema. Pertunjukannya membuat penonton mengernyitkan dahi dan sedikit meringgis, karena kadang atraksi mereka yang bisa dikatakan ekstrim.

Dua pemuda membawa semacam obor kecil. Gagang yang hanya sebesar lidi dengan ujungnya bulat seperti dibalut kain, kemudian dimasukan kedalam kaleng berisi cairan yang mudah terbakar (mungkin sejenis BBM). Ujung bulatan itu kemudian disulut api. Mulut mereka tampak mengembung, seperti menyimpan sesuatu (cairan). Obor kecil itu diarahkan di hadapan wajah mereka, tak lama kemudian api besar timbul di depan muka mereka. Api seolah-olah keluar dari mulutnya. Semburan cairan yang ada dimulutnya membuat atraksi api yang sangat menakjubkan. Jilatan si jago merah menyebar ke atas. Tak hanya itu, api yang ada pada obor mereka masukan kedalam mulut mereka, “memakan apai”. Seperti Penegndali Api (firebender) di film Avatar The Last Airbender.

Namun sayang, salah satu temannya ‘gagal’ melakukan atraksi itu, sehingga sang ketua pertunjukan sekaligus sutradara marah, dan ia pun harus menerima konsekuensinya. Apa hukumannya? Tak tanggung-tanggung, yakni dengan menjilatkan obor tadi di punggungnya. Sangkalan-sangkalan pemain tak membuat sutradara menerima alasannya. Sangkalan guyonnya membuat penonton tertawa.

Atraksi yang cukup ekstrim, 'permainan' api.

















Pertunjukan dilanjutkan dengan memamerkan ketangkasan dan kerjasama tim. Membuat menara manusia. Satu orang berposisi kayang di bagian bawah. Dua orang naik pada tumit dan pundaknya sambil berpeganan. Dan satu orang naik ke atas, dia pun harus dalam posisi berdiri diatas kedua tangannya, dengan posisi kepala dibawah sedangkan kaki diatas.

Atraksi lainnya: salto, berjalan dengan kaki, dan menara manusia.














Dan yang terakhir, yang mungkin bikin orang terheran-heran. Atraksi si manusia karet. Seorang pemain dimasukan sebuah tabung bergaris yang seukuran pas dengan tubuhnya. Dengan badan dan kaki yang saling bertumpuk, tabung itu dimasukan. Tentunya harus ia pun harus membebaskan tabung itu. Satu kaki masih terlepas. Ia berusaha membebaskan tabung yang membelenggu dari tubuhnya. Kadang berjongkok kadang diam duduk. Perlahan tabung itu turun. Untuk mempercepat pelepasan tabung itu ia pun harus membalikan posisinya, kepala di bawah dan kaki diangkat ke atas, seperti salto. Tak lama kemudian tabung berada diposisi bokongnya. Dia pun merubah posisi tubuhnya dan segera mendorong tabung itu kebawah, terbebas sudah.

Si Manusia Karet, mengandalkan kelenturan tubuhnya untuk membebaskan
diri dari tabung yang membelenggu ditubuhnya.














Sang ketua pertunjukan membuka tenda itu. Merobohkannya. Hanya ada kain putih dan tali. Gadis cilik itupun entah kemana hilangnya.

Dalam pertunjukan itu pun tidak melulu membuat orang terheran-heran. Tentu saja diselipkan candaan dan tingkah jenaka yang membuat orang tertawa, sebagai bumbu humornya.


Catatan: Semua atraksi/pertunjukan diatas dilakukan oleh profesional atau ahlinya. Dan adegan hukuman itupun bukan merupakan hukuman sebenarnya, tak lain adalah bagian dari pertunjukan belaka.
*Aku, Niko dan Trie.

Tidak ada komentar: