8.2.12

Asyiknya Icip-icip dan Ber-sunset Ria di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan

Tak ada rencana traveling untuk akhir pekan ini, eh... Niko malah ngajak jalan-jalan ke salah satu kampung Betawi, Setu Babakan. Bener-bener sesuatu banget. Wow... memang jalan-jalan yang asyik, selain bisa bisa mengenal kebudayaan  Betawi, menikmati kuliner khasnya, bersantai di pinggir setu pada sore hari, juga dapat jackpot bisa mengabadikan sunset.
Pintu masuk Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan















Dengan mengendarai motor matic kami masuk ke Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, melalui Pintu I Bang Pitung. Rasa jenuh menunggu Niko yang datang telat di meeting point, mana pake acara ban bocor pula (sory Om, yang ini memang kesalahan bukan pada motornya, ini konsekwensi boncengin ‘hypo’) seperti tertebus sudah dengan keunikan kampung budaya ini. Kami melewati beberapa rumah dengan arsitektur khas rumah adat Betawi, namun ada sedikit kontemporer.

Kami jalan terus menyusuri jalan kecil berpaving-blok itu. Tibalah kami di suatu tempat, dengan air tenang mendominasi. Itulah tempat yang kami maksud, Setu Babakan.

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan berada di kelurahan Srengsengsawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dan memiliki luas kawasan sebesar 289 hektar. Ratusan kios dan rumah mengelilingi setu tersebut. Di pinggir setu banyak sekali berjejer bangku dan meja untuk bersantai.

Icip-icip Kuliner Betawi

Kami singgah disuatu warung makan sederhana. Melihat menu yang tertulis disitu ada nama kuliner yang belum aku cicipi, yakni laksa. Penasaran dengan nama menu itu lalu tanpa pikir panjang aku memesannya. Satu porsi  laksa berisi telur bulat yang direbus, kupat, dan kemangi, dengan didominasi sayur tauge, kemudian disiram dengan kuah santan yang kental. Terakhir diberi kerupuk merah. Rasanya sungguh gurih, dan seger dari taugenya.

Untuk minumannya aku memesan bir pletok. Minuman yang berwarna merah ini memang khas Betawi. Dibuat dari jahe, gula pasir dan kayu secang. Rasa pedas setelah makan laksa mampu dinetralisir dengan sensasi hangat dan  segar dari minuman tersebut.

Kunjungan pertama kami ke sebuah kawasan wisata yang ada dikawasan tersebut. Kami masuk gerbang kecil dengan naik beberapa anak tangga. Namun sayang rupanya kami datang disaat yang kurang tepat. Bale yang sering digunakan untuk pentas kesenian di pakai buat acara resepsi pernikahan. Tapi untungnya kami masih bisa menikmati rumah-rumah adat Betawi lainnya.

Tepat masuk ke gerbang tersebut, sudah ada pikulan menjual makanan, kerak telor. Penjualnya berbusana khas pria Betawi dengan sarung yang dikalungkan dileher seperti syal, lengkap dengan kopiah hitam. Kerak Telor Bang Udin, itulah nama untuk pikulan tersebut. Namanya juga kerak, berarti memasaknya pun tidak memakai minyak. Pertama Bang Udin akan memasukan beras yang telah direndam langsung kedalam wajan yang panas tanpa minyak. Kemudian telur bebek atau telur ayam (sesuai permintaan pelanggan) dimasukan. Diaduk sebentar dan ditata melebar, seperti membuat martabak. Setelah itu ditutup dan terakhir dibalik sambil terus dipanggang diatas bara dari arang batok kelapa. Tak lama kemudian kerak telor sudah siap dihidangkan, tinggal dipotong-potong seperti pizza, diberi taburan serundeng dan bawang goreng. Rasanya yang gurih cocok sebagai cemilan. Tak lama kemudian Bang Udin dikerumuni oleh anak-anak ABG, sepertinya sih mereka sedang meliput disitu, karena menurut analisaku mereka membawa kamera DSLR lengkap dan bertanya ini-itu persis seperti wartawan. Mungkin mereka meliput untuk majalah atau koran sekolah atau mungkin juga mereka sedang diberi tugas. Entah lah.
Laksa

Segelas bir pletok dengan es

Pintu masuk kawasan Budaya Betawi

Kerak telor Mang Udin

Kerak telor

Anak-anak ABG yang sedang meliput.




























































































Sambil duduk-duduk santai di teras rumah adat Betawi kami menikmati kerak telor. Rumah adat yang kontemporer itu sungguh unik. Memiliki teras yang luas, dengan dipan-dipan sebagai tempat leyeh-leyeh yang menjorok pada kedua sisi kanan dan kiri teras. Di pinggir dipan langsung, ada jendela terbuka dengan bentuk melengkung. Sedangkan di teras tengahnya, di kiri dan kanan pintu rumah, ada meja dengan kursi bulat khas Betawi, diatasnya ada lampu tempo doeloe, dan beratapkan dari anyaman bambu tapi lantai sudah keramik. Dinding rumah yang terbuat dari kayu itu berjejer foto-foto kenangan pemilik rumah, salah satunya pria dengan pose seni beladiri Betawi.

Ketika menikmati kerak telor, Sandhi datang. Dia gabung dengan kita. Tak lupa diapun membawa kamera DSLR.

Kerak telor habis, kita pun menuju ke sisi lainnya. Walaupun ada resepsi pernikahan, namun kita masih bisa menikmati Betawi sisi yang lain. Mengunjungi rumah-rumah adat Betawi yang lainnya. Kita pun bernarsis ria di depan rumah adat tersebut. Semua gaya kita coba, mulai dari gaya bak foto model hingga gaya anak alay.
Rumah adat Betawi tampak depan

Teras dengan meja dan kursi khas rumah Betawi

Foto yang terpajang di teras rumah Betawi

Mirip anak kembar

Narsis dulu ah....

Gaya anak alay

Niko dengan 'senang hati' memotret Sandhi

















































































































Tak sengaja ketika membidik Masjid Al Falaah, yang arsitekturnya bergaya rumah Betawi, ada orang yang dengan nyeleneh-nya bergaya karena nyadar kamera. Kita langsung kenalan. Ngakunya sih dari komintas sepeda, namanya Olikwekwek. Hah...! “Iya bener, cari ada di facebook, pasti ada” katanya. Mereka bertiga dari Tanah Abang yang sedang bersepeda hingga singgah di tempat itu. Dan kami pun ngobrol sebentar dengan mereka, karena mereka akan melanjutkan perjalannnya kembali. Walaupun ngobrol sebentar tapi kita seperti ketemu sama saudara saja.

Selesai menunaikan sholat dzuhur kami menuju ke sisi lainya. Tampak disitu juga ada lampion Betawi dengan bentuk kotak dan berwarna hijau dan atau merah yang dominan dan sedikit ditambah asesoris warna kuning. Oh ya, kami hampir lupa, sepengetahuan kami biasanya di kampung ini ada pembuatan dodol betawi. Akhirnya kita kembali ke tempat yang tadi kami kunjungi. Kami melihat ada yang menjual cemilan khas Betawi tersebut. Kami tanya kepada si Mpok yang menjual dodol tersebut. Ada dua pilihan, ada dodol yang terbuat dari beras ketan biasa (putih) dan beras ketan hitam. Tentunya karena perbedaan ini juga menghasilkan warna dodol yang berbeda. Jika menggunakan beras ketan putih maka dodol yang dihasilkan berwarna cokelat, sedangkan dari beras hitam maka dodol yang dihasilkan akan berwarna lebih gelap lagi. Rasanya tentu saja manis legit dengan sensasi kenyal-kenyal.

Sementara itu karena Sandhi masih ada acara maka dia pamit, sedangkan kami masih ingin menikmati suasanya kampung tersebut. Setelah bertanya-tanya seputar dodol ke si Mpok tersebut akhirnya kami ditunjukan olehnya Kantor Informasi yang bisa kita gali segala hal tentang kampung tersebut. Kami bergegas menuju ke kantor tersebut dan bertemu dengan seorang pegawainya. Setelah informasi yang kita butuhkan diperoleh kita langsung bergegas. Namun gerimis yang tak diundang datang. Akhirnya kami mampir disebuah warung yang menghadap langsung ke setu.

Sambil menikmati makanan disitu kita bisa menikmati aktifitas warga yang berlalu lalang di jalan disisi setu. Juga menikmati aktifitas pengunjung yang bersepeda-air di setu tersebut. Sepeda-air dengan warna yang ngejreng dan berbentuk hewan-hewan air itu sungguh panorama yang unik.

Aku memesan soto mie. Pas banget dengan cuaca yang dingin gerimis ditemani soto mie yang hangat dan kopi cappucino. Soto mie yang seger apalagi kuahnya, per porsinya berisi irisan kikil, irisan daging, irisan risol, bihun dan mie. Nikmat banget dah pokoknya.

Selesai ngobrol ngalor-ngidul berjam-jam sambil menunggu gerimis reda dan menikmati hidangan yang nikmat itu, perjalanan kami lanjutkan. Sasaran berikutnya adalah Masjid At Taubah. Masjid ini masih berarsitektur rumah adat Betawi. Berada di Kompleks Perumahan Kampung Budaya Betawi. Masjid ini lebih besar dibanding dengan masjid Al Falaah. Mulai dari bentuk pintu hingga angin-angin mengadaptasi rumah adat Betawi. Selesai sholat ashar, kami membidik tiap sudut arsitektur  masjid tersebut. Hingga kami memutuskan untuk menuju ke setu kembali.
'Olikwekkwek' didepan Masjid Al Falaah

Lampion khas Betawi menghiasi halaman rumah

Dodol Betawi

Kantor Informasi Kampung Budaya Betawi

Menikmati sepeda air di Setu Babakan

Soto mie, cocok disantap saat gerimis

Menara Masjid At Taubah

Masjid At Taubah dari depan























































































































Ber-sunset Ria Bareng Musisi Jalanan

Membunuh waktu di tepi setu pada sore yang cerah itu sungguh mengasyikan. Kami duduk di bangku kayu terbuka menghadap ke danau. Sesekali memperhatikan aktifitas para pengunjung yang menghabiskan waktu sore harinya dengan bersantai ria di sekitar setu. Ada yang memancing, bermain dayung, bersepeda ria di jalanan berpaving-blok yang mengelilingi setu, bahkan hanya duduk-duduk santai sambil berbincang-bincang dengan orang-orang tercinta.

Sambil menikmati pempek kami sesekali mencari momen buat kami bidik, siapa tau ada yang asyik. Tampak dari kejauhan seorang pria dengan telanjang dada hanya memakai celana pendek saja, diatas perahu geteknya, menjala/menjaring ikan ditengah danau. Aku mengganti lensa standar dengan lensa tele supaya objek yang jauh tersebut tampak dekat. Kami berdua membidik kegiatan tersebut. Kadang kami harus menunggu lama hingga nelayan tersebut melepaskan jala ke tengah perairan, tak boleh sedetik pun lengah, sehingga tak ketinggalan momen itu. Rupanya menunggu momen tersebut memang butuh perjuangan. Kami hanya membidik beberapa jepretan saja. Selanjutnya orang tersebut bergegas menuju kepinggiran danau disisi lainnya.

Merasa momen yang kami dapat kurang puas untuk ukuran sebuah fotografi, Niko berinisiatif menghampiri orang tersebut. Niat maksud hati ‘memohon’ kepada nelayan tersebut supaya melakukan kegiatan menangkap ikan dengan jala tersebut, namun apa daya nelayan tersebut menolakanya dengan alasan sudah cape. Padahal Niko sudah merayu dengan ‘iming-iming’ imbalan yang sepadan. Yah itulah namanya perjuangan.

Kami membidik objek lain sebagai penebus kekecewaan kami karena nelayan tersebut tak mau ‘dirayu’ oleh kami. Wah... objek perahu getek nelayan tersebut ternyata tak terlalu jelek kami bidik, apalagi sore itu cerah dengan sinar/cahaya yang lembut. Aktifitas nelayan tersebut yang asyik mencari remis (sejenis kerang air tawar) dengan tak luput dari bidikan kamera kami, tentunya dengan stategi hidden camera. Jika memperhatikan objek lain yang tak umum akan menemukan objek yang tak kalah indah, seperti capung yang bertengger di atas ranting yang nongol di permukaan air.
'Mancing Mania'

Mendayung di setu

Pempek yang menemani sore kami

Aktifitas nelayang yang sedang menjala, yang berhasil kami potret

Mencari remis di sisi setu

Dragonfly





















































































Serasa posisi kami berada di barat yang jelas membelakangi matahari tenggelam, kami menuju ke sisi timur setu. Disini juga banyak pengunjung bersantai menikmati sore hari dengan duduk-duduk sambil menikmati minuman. Menghadap ke setu dan akan disambut oleh semburat jingga yang ditimbulkan oleh matahari tenggelam.

Momen sunset ini tentu tak akan kami lewatkan begitu saja. Membidik satu dua kali memang tak bakal cukup, kami bahkan berkali-kali membidik dan dengan angel yang berbeda-beda. Baru beberapa jepretan saja, ada empat pengamen ABG. Nggak nyangka, dengan cerdasnya Niko ‘memanfaatkan’ group pengamen tersebut. Mereka diminta menyanyikan/beraksi di point yang Niko minta. Tanpa kompromi yang membosankan mereka langsung setuju. Bahkan mereka menyanyikan lagu yang entah apa judulnya karena aku fokus membidik mereka satu lagu penuh. Satu orang bernyanyi ditengah-tengah, satu orang menabuh tifa, satu orang memetik gitar, dan yang satunya lagi hanya berdiri saja dengan sikap 'tak cooperative'. Kamera terus bekerja membidik momen itu. Performance mereka dan dengan latar belakang sunset sungguh amazing banget. Bahkan sampai tak umumnya ‘kelakuan’ kami, beberapa pengunjung yang lain keheranan melihat apa yang kami ‘lakukan’. Selesai mereka beraksi dan kami pun sudah merasa cukup maka saatnya kami harus mengeluarkan rupiah. Aku serahkan Rp. 20.000,- sebagai tanda terimakasih mau ‘bekerjasama’ dan rasa senang dari wajah-wajah mereka tak dapat disembunyikan. Bahkan beberapa kali mereka mengucapkan terimakasih. Mungkin bagi mereka mengamen dengan harga segitu sudah dari cukup dan memang jarang-jarang mereka peroleh (asal duga saja). Bahkan terdengar celetukan “Lain kali ajak kami lagi ya Om”. Kami hanya senyum saja. Tak lupa Niko meminta alamat fb-nya (wew... pengamen aja punya akun facebook...).
Jackpot! momen sunset

Pengunjung menikmati sunset

Musisi jalanan yang kami 'sewa'
menunjukan aksinya dengan background sunset

Niko lagi asyik memotret sunset

Bahkan setelah matahari benar-benar tenggelam pun,
panoramanya masih indah








































































It’s very suprisingly. Tak banyak momen langka ini kami temui. Sekedar hasrat ber-hunting foto dan melepas penat dari rutinitas. Keajaiban kami peroleh di tempat yang dekat dengan ‘rakyat’.

Thanks to God, thanks to Niko, for today and for this moment.

Tidak ada komentar: