15.2.12

Tiga Kisah dari Muara Angke

Pelabuhan Muara Angke: Sindrom 4L

Pagi hari yag cerah, para nelayan yang baru tiba dari melaut membawa harapan. Secerah pagi, secerah juga harapan para nelayan akan membawa hasil peraduannya di laut lepas, menunaikan kewajibannya untuk memenuhi nafkah keluarga. Pagi itu, matahari yang kami* harapkan kehadirannya memang saat yang kami tunggu. Membidik sang surya yang gagah menerangi hari ini.











































Selepas membidik sang mentari dengan beberapa angle, kami minum kopi di sebuah warung dengan gerobak yang tampaknya baru menggelar lapak. Kopi hangat dalam gelas plastik transparan dalam kemasan gelas air mineral, menemani perbincangan dengan dua orang nelayan. Mereka melaut hampir tiga bulan, waktu yang lama bagiku untuk sebuah ‘pengembaraan’ yang menjemukan. Semua logistik dan peralatan telah mereka siapkan. Goyangan dari kapal akibat ombak sudah menjadi makanan sehari-hari, pemandangan yang monoton hanya melihat air dan langit plus ikan hasil tangkapan menjadi pemandangan yang biasa, dan dikapal pasti mengidap ‘sindrom 4L’ (loe lagi loe lagi) karena teman mereka ya rekan kerja dalam kapal itu saja.

Di sisi lain tampak beberapa nelayan sedang membongkar hasil tangkapan ikannya. Kebetulan saat itu kami melihat dua kapal yang sedang membongkar ikan. Satu kapal berisi berbagai jenis ikan, sedangkan yang satunya berisi cumi-cumi dengan berbagai ukuran. Mereka membongkarnya dari freezer didalam kapal, mesin yang berfungsi membekukan ikan supaya awet. Ikan yang didinginkan mirip sekali es krim batangan yang baru diambil dari kulkas, dengan bunga-bunga es berwarna putih yang masih menempel pada ikan-ikan. Mengangkat ikan dari mesin freezer, menimbang beratnya, dan mengangkutnya ke TPI (tempat pelelangan ikan) dalam keranjang yang mampu memuat 70-80 kg.











































Perkampungan Nelayan Muara Angke: ‘Penjemuran’ Ikan

Kami juga mengunjungi Perkampungan Nelayan Muara Angke. Pemandangan yang dominan disini adalah kegiatan pengeringan ikan. Ikan-ikan berukuran jari dijemur diatas anyaman bambu dengan lajur-lajur yang rapih. Ikan mulai ditata di penjemuran sejak pagi hari. Memerlukan dua hari penjemuran jika cuaca terik atau lima hari jika cuaca mendung/hujan hingga ikan bisa dikatakan pas keringnya.



















Eko Wisata Mangrove Education Center: Mau Foto, Wani Piro?

Awalnya kami akan main ucing-ucingan dengan petugas ‘pintu masuk’ eko wisata, untuk sekedar hunting foto. Kami pikir akan membayar ‘segepok’ uang jika kami akan memotret. Tanya ke sekelompok pemudi yang sedang berfoto riang lengkap dengan modelnya, membayar ratusan ribu rupiah,  sedangkan jika pemotretan pre weding or wedding maka tarifnya lebih mahal lagi. Ketika kami bertanya petugas ‘pintu masuk’ untuk sekedar foto saja, kami dikenakan puluhan ribu rupiah (tiga orang). Mau foto, wani piro?






























*Aku, Niko, dan Zuhree

Tidak ada komentar: