|
Gunung Bromo |
Setelah makan malam di Hotel Yoschi, Ngadisari, kami briefing sebentar tentang jadwal untuk esok hari. Guide kami, mas Tris, menjelaskan segala sesuatunya. Harus bangun jam berapa supaya kami tak ketinggalan melihat momen sunrise. Dengan apa kami bisa mencapai ke Pananjakan. Suasananya akan seperti apa disana. Dan harus berapa lama kami disana.
|
Suasana makan malam di Hotel Yoschi |
Subuh-subuh kami bangun. Di ruang makan hotel sudah siap beberapa pria dengan penampilan khas Suku Tengger. Memakai ikat kepala dari kain batik, dan memakai sarung yang hanya disimpaikan saja dibahu hingga ke dada, sebagai penghangat tubuh.
Suhu pengunungan di pagi buta memang menggigil, sampai-sampai aku pun harus memakai jaket double. Kami sudah menunggu didepan hotel. Beberapa mobil hartop sudah berjejer di pinggir jalan, namun hanya empat mobil yang akan mengantarkan kami ke Pananjakan. Hartop ini masuk kedalam paguyuban Bromo Jeep Club, yang anggotanya sekitar 200 mobil.
Masing-masing bergegas menuju hartop pilihannya. Sopirnya asli orang Tengger, meliuk-liuk di jalanan yang sempit dan berkelok dengan kecepatan optimal, yang menurutku kecepatan yang tak wajar untuk sopir biasa, bermanuver di medan yang seperti ini, plus suasana yang masih gelap. Namun semuanya berjalan lancar. Di kiri dan kanan terlihat kebun bawang daun dan kentang. Kami tiba disuatu titik yang aku pun masih bingung (karena gelap), dimana ini?
Kami harus berjalan menuju ke titik yang pas untuk melihat sunrise. Bisa dengan memakai jasa tunggangan kuda atau kalau kuat bisa jalan kaki. Aku mulai terpisah dengan teman-teman yang satu kelompokku. Karena aku sudah siap untuk mengabadikan Bromo di pagi hari, tak ku hiraukan teman-teman yang lainnya, toh mereka pun mau menuju ke tempat yang sama, pikirku.
Jalanan yang becek dan banyak berlalu lalang kuda yang mengantarkan wisatawan membuat aku harus hati-hati berjalan. Beberapa langkah saja, nafasku sudah ngos-ngosan. Paru-paru rasanya sudah kembang-kempis (tapi untungnya ini udara pengunungan yang sejuk). Akhirnya aku putuskan memakai jasa kuda. Susah juga naik ke pelana kuda. Beberapa kali aku mencoba terus gagal. Tapi sang pemandu kuda baik hati mengangkat tubuhku yang berat hingga aku sukses duduk diatas pelana kuda.
Karena ini pengalaman pertama naik kuda sungguhan, aku perpegangan erat pada tali yang ditunjukan sang pemandu. Terasa sekali bahwa kuda ini kurus. Itu terasa dari tulang-tulangnya begitu menonjol. Dan kayaknya kuda ini memiliki jam terbang yang tinggi mengantarkan para pengunjung Bromo. Gerakannya cukup lihai untuk seekor kuda di medan yang menanjak dan licin plus becek ini.
|
Sopir mobil hartp asli Suku Tengger |
|
Mobil hartop yang siap mengantarkan kami ke Bromo |
|
Jasa penunggangan kuda |
|
Suasana di Pananjakan |
Aku sampai di titik awal tangga. Disini sudah tak ada jasa penunggangan kuda lagi. Aku harus berjalan lagi ke atas. Langkah demi langkah aku tapaki, beberapa anak tangga aku lewati. Tak lama kemudian aku sampai di titik untuk melihat Gunung Bromo, dan teman-temannya (masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Di tempat ini sudah banyak sekali orang, yang jumlahnya bejibun. Sudah siap dengan kamera masing-masing. Bahkan beberapa sudah berpose narsis dengan latar belakang Bromo.
Akhirnya aku mendapatkan tempat yang cukup pas dan lega juga. Aku langsung pasang tripod, setting kamera ini-itu, langsung deh beraksi. Tampak gunung-gunung berdiri gagah, terlihat jelas dari bawah hingga puncaknya. Hamparan padang pasir yang luas, dan terlihat asap mengepul dari kawah Bromo. Walaupun pagi itu sunrise tak muncul karena cuaca agak mendung, namun Bromo tetap anggun dan tak mengecewakan para ‘tamu’-nya.
Sesekali aku clingak-clinguk melemparkan pandangan ke segala penjuru mata angin, siapa tau teman-teman yang lain sudah ada disini. Di depanku, tepat di pinggir jurang, dua sejoli bule tengah asyik menikmati momen sunrise langsung menghadap ke Gunung Bromo. Beralaskan jaket, mereka membuka anggur dan menikmatinya bersama. Edun.... romantis banget.
|
Mengabadikan Bromo |
|
Bule sedjoli yang asyik menikmati Bromo |
|
Bromo emang amazing |
Sejurus mata memandang, akhirnya ketemu juga dengan trio gila: Caesar, Anggra, dan si bule, Yoeri. Aku gabung saja. Rupanya mereka bareng sama guide kita, Mas Tris. Kemudian Mas Tris mengajak kami ke tempat yang lebih tinggi lagi. Kami naik, dan ternyata disini view-nya bagus banget. Kita lebih luas memandang. Disini bisa melihat Gunung Lumajang yang jauh disana. Saatnya beraksi, jepret sana jepret sini. Juga tak ketinggalan memotret gaya Caesar dan Anggra yang katanya ini gaya rocker ala Bromo.
|
Ketemu 'trio gila': Anggra, Yoeri & Caesar
(Courtesy: Akar Rumput Adventure) |
|
Gunung Lumajang pun kelihatan |
|
Salah ekspresi, yang lain senyum manis, aku malah manyun |
|
Gaya rocker ala Bromo |
Pagi mulai terang. Kami mulai turun. Di bawah, kami juga bertemu dengan teman-teman yang lainnya. Perjalanan selama turun kami menemui hal-hal yang unik. Bertemu dengan dua wanita (sebenernya sih sudah nenek-nenek ... ups!) yang minta difoto dengan background Gunung Bromo, dan kita bisa ngasih uang seikhlasnya (baca: seadanya) saja. Mas Tris juga menunjukan tanaman kronggon, sejenis semak yang buahnya seperti blueberry, dan dimanfaatkan warga sekitar sebagai obat disentri. Juga ada tanaman ganjan, sebagai obat mimisan. Terlihat juga para penjual edelweis. Yang lebih amazing lagi, terlihat Gunung Semeru yang mengeluarkan asapnya.
|
Dilihat dari atas: kebun dan barisan hartop |
|
Ada pula yang berkemah |
|
Ketemu sama temen-temen yang lain (Courtesy: Akar Rumput Adventure) |
|
Perempuan Suku Tengger |
|
Mas Tris memetik buah kronggon, konon sebagai obat disentri |
|
Tanaman ganjan, bisa menyembuhkan mimisan |
|
Penjual bunga edelweis |
|
Terlihat Gunung Semeru yang mengeluarkan asap/abu |
|
Jauh-jauh ke Bromo cuma jadi kernet hartop? Tarrikk maaaannnggg....
(Courtesy: Akar Rumput Adventure) |
Berikutnya adalah menikmati padang pasir Bromo. Butuh perjuangan ekstra untuk sampai ke padang pasir itu. Karena saking banyaknya kendaraan yang akan menuju kesana. Bahkan pake acara macet segala. Tiba di padang pasir aku langsung berjalan. Menikmati pemandangan yang membentang luas tanpa ada penghalang. Sejauh mata memandang semuanya pasir. Lautan pasir khas Bromo dan kuda-kuda menambah daya tarik tempat ini.
|
Dari dalam hartop |
|
Pura di padang pasir Bromo |
|
Sejauh mata memandang semuanya pasir |
|
Berkuda, sensasi menikmati padang pasir Bromo |
|
Menuju ke Kawah Bromo |
Setelah puas bermain di padang pasir dan mata sudah termanjakan dengan pandangan yang tak berpenghalang, kini saatnya pulang. Namun butuh perjuangan yang ekstra pula untuk mencapai hotel. Karena banyak kendaraan yang menuju ke tempat yang sama dan jalanan sempit, sehingga macet. Fyuh...
Thank to Niko atas foto-fotonya dan Akar Rumput Adventure atas suksesnya trip ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar