Pagi menjelang. Udara gunung di pagi hari memang dingin. Untungnya di anglo masih ada bara, kemudian Niko menambahkan arang dan mengipasinya supaya arang yang masih hitam membara. Setelah itu dia menyerahkan kepada aku dan Yanti. Lumayan buat menghangatkan tangan yang kedinginan.
Setelah sarapan dengan nasi bungkus yang telah disediakan oleh ARA, para peserta menikmati acaranya sendiri. Mereka membuat game sendiri. Eits... bukan berarti ARA lepas tangan lho... ini atas permintaan mereka, bahwa acara game yang kami pandu hanya di hari pertama saja. Tampak juga para pemenangnya dalam game mereka mendapatkan hadiah yang lucu, seperti kaos.
Game mencari jepitan jemuran dengan mata tertutup pada pasangannya. |
Pemenangnya dapat hadiah kaos. |
Acara berikutnya adalah mengunjungi Curug 7 dan melihat aneka kupu-kupu di Taman Konservasi Kupu-kupu. Untuk mencapai ke Curug 7 kami harus turun melalui warung-warung di sekitar. Dari kubah dengan kawat kasa yang merupakan Taman Konservasi Kupu-kupu kami harus melintasi jembatan. Disini ada dua jembatan, jembatan biasa dengan bahan beton dan yang satunya jembatan gantung, sehingga akan terasa bergoyang ketika melewatinya.
Dari situ kita akan mendaki beberapa anak tangga lagi. Untuk mencapai curug 7, jaraknya tak sejauh dibandingkan menuju ke Curug 5. Di kanan-kiri tampak penginapan yang terbuat dari kayu. Juga ada penyewaan tenda yang besar, cocok untuk acara keluarga.
Curug 7 memiliki karakteristik yang berbeda dengan Curug 5. Jika di Curug 5 ada pohon di bawah curug maka di Curug 7 tak ada sama sekali. Bahkan aliran air terlihat jelas dari atas hingga bawah karena tak ada pohon yang merintangi ke tengah curug. Di Curug 7 terdapat dua air terjun berdampingan, sedangkan di Curug 5 hanya satu.
Karena posisinya yang dekat, maka curug ini ramai dikunjungi wisatawan, apalagi pas weekend seperti ini. Persis berhadapan dengan curug terdapat penginapan yang asri, dengan rumah panggung terbuat dari kayu.
Melewati jembatan gantung yang bikin bergoyang. |
Penyewaan tenda, di sisi jalan menuju Curug 7 |
Penginapan yang asri di sisi jalan menuju Curug 7 |
Penginapan lainnya yang menghadap langsung Curug 7. |
Curug 7 memiliki dua air terjun. |
Puas menikmati sejuknya titik-titik air dari hembusan angin curug, dan puas mengabadikan keindahan aliran air dengan kamera, aku langsung turun ke bawah ketempat disekitar Taman Konservasi Kupu-kupu. Aku melewati jalan lain, jalanannya agak datar berbatu dan tertata rapih, plus sepi pejalan, karena memang bukan jalan utama menuju Curug 7. Aku menunggu beberapa saat didepan kubah itu, karena petugas belum membuka taman insecta indah itu.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya taman itu dibuka. Setelah membeli tiket masuk seharga Rp. 6.000,- dan lensa kamera diganti dengan lensa tele aku masuk. Menakjubkan beberapa insecta dengan warna yang membuat mata termanjakan terbang dengan indahnya. Bahkan sesekali melihat aktifitas mereka yang sedang mengambil nektar bunga, ada juga yang sedang menikmati air yang diberi petugas di atas piring, denga bunga-bunga. Yang sangat amazing, adalah aku bisa menyaksikan proses alami daur hidup kupu-kupu, metamorfosis, yes “jackpot!”. Di sebuah bangunan kecil beratap, ada seekor kupu-kupu spesies Throides helena, sedang keluar dari kepompongnya. Kupu-kupu ini memiliki ciri-ciri dengan didominasi warna hitam, dengan sayap bagian bawah berwarna kuning. Aku merekam momen indah nan langka itu dengan video handphone-ku. Pegel juga ternyata. Untuk keluar dari cangkang kepompong itu, membutuhkan proses yang lama juga untuk benar-benar keluar. Aku hany mampu merekam 8:33 menit.
Taman Konservasi Kupu-kupu yang berbentuk kubah. |
Salah satu koleksi serangga Taman Konservasi Kupu-kupu. |
Metamorfosis, Throides helena berusaha keluar dari kepompong. |
Keluar kubah insecta indah itu aku bertemu dengan Rantip yang duduk dengan muka datar, dengan ekspresi persis seperti ‘anak ilang’. Dia memang sedang menunggu Heru, yang katanya akan mengambil menu makan siang. Sesekali dia juga mengamati aktifitas wisatawan yang berkunjung. Dia fokus ke tiga orang anak yang sedang bermain bola. “Keluarga Ahmed sedang bermain bola dengan Keluarga Asep” katanya sambil menunjukan anak keturunan Arab (Timur Tengah) bermain bersama anak Sunda. Secara di Puncak kan memang banyak keluarga keturunan Arab atau Timur Tengah. Lalu lalang orang-orang dengan wajah Timur Tengah memang tak aneh di sini.
Yang paling membuatku kagum adalah banyak orang-orang pribumi mahir berbahasa Arab, bahkan untuk anak yang seumuran SD. Mereka siap memandu warga keturunan Arab tersebut dengan bahasa Arab yang fasih.
'Keluarga Ahmed' sebutan Rantip merujuk pada warga Arab di Puncak. |
Kembali ke tenda. Para peserta mulai beres-beres barang mereka. Setelah itu makan siang datang. Kami makan siang bersama. Setelah semua selesai, mereka sengaja kami wajibkan untuk tak membuang sampah sembarangan, dan sampah yang ada dimohon untuk dikumpulkan di kantong atau tempat sampah yang tersedia di sana. Kita wajib menjaga kebersihan tempat yang telah kita jelajahi demi kelangsungan keindahan tempat tersebut.
Kami saling bersalaman. Bersayonara, berpisah meninggalkan cerita ceria bermalam di Cilember.
Sayonara semuanya. |
Setelah mereka semua pulang termasuk Yanti yang mengantarkan mereka, ikut serta dalam rombongan tersebut. Kami membereskan tenda. Satu per satu tenda kami rapihkan kembali. Walaupun sempat hujan turun, namun kemudian matahari segera nongol kembali, sehingga tak mengganggu acara beres-beres tersebut. Beberapa sampah yang masih berserakan kami kumpulkan.
Masing-masing dari kami membawa properti tersebut ke mobil di parkiran depan pintu masuk Wanawisata Curug Cilember. Kami memasukan barang satu per satu kedalam bagasi mobil. Masih belum muat di bagasi, sebagian barang ditaruh di kursi belakangan, yang akan setia menemaniku di perjalanan. Sementara itu Niko menyelesaikan administrasi dengan pihak ticketing di pintu utama, juga penyelesaian segala urusan dengan si Ibu empunya warung.
Karena Rantip membawa motor, maka dia langsung meluncur ke Jakarta sedangkan kami harus ke basecamp YSI untuk mengembalikan tenda. Keluar dari jalan yang menuju Curug, kami disambut pemandangan biasa jalanan ala Puncak. Kendaraan yang menuju Jakarta macet karena sistem buka-tutup. Untungnya kami menuju ke arah yang berlawanan, dengan tujuan basecamp YSI Cibodas, jadi perjalanan lancar.
Sebelum masuk ke jalan Cibodas, kami melihat tenda yang menjual jaket dan pakaian hangat lainya. Tertulis jelas pada spanduk Bandung Sisa Ekspor (BSE). Mereka menjual produk fashion khususnya pakaian yang cocok buat kegiatan outdoor, yang tak lolos ekspor. Jelas dari segi harga memang miring banget, bahkan karena kami membeli secara borongan maka kami mendapat diskon 10%. Untuk ukuran kualitas menurutku masih bisa ‘ditolelir’. Karena lembaran berharga di dompetku tipis, maka aku hanya membeli celana hangat seharga Rp. 72.000,- satu biji saja, sudah termasuk diskon. Murah banget kan, padahal kalo nyari ditempat lain belum tentu nemu barang tersebut, plus belum tentu juga harganya murah.
Mborong jaket mumpung harganya miring. |
Sampai di YSI rupanya basecamp rame banget. Tampak Keluarga Om Cepi dan Om Ao beristirahat di situ. Mereka sekeluarga trecking ke Curug Cibeureum tadi pagi. Dan kami berbincang-bincang santai di depan basecamp, sambil menikmati pemandangan aktifitas pejalan yang sedang menikmati liburan di Cibodas. Tak beberpa lama kemudian Tante Bayu menyuruh kami makan. Katanya Tante Gogot (istri Om Ao) telah membuat hidangan spesial, yakni Nasi Bakar dan Pindang Ikan, plus Sambal Jahannam*. Pertama Heru yang mengambil menu itu, bahkan saking enaknya dia pake acara nambah. Kemudian Niko mengikuti jejak Heru. Sebelum makan malam dengan menu tersebut, alangkah nikmatnya jika mandi dulu, pikirku. Setelah mandi dengan air pegunungan yang super duper dingin, aku menikmati Nasi Bakar, Pindang Ikan, Sambal Jahannam, plus tempe goreng. Nasi Bakarnya gurih tak ketulungan, Ikan Pindangnya maknyus banget, sedangkan Sambal Jahannamnya bikin lidah kebakaran yang panasnya terus melekat.
Nasi Bakar, saking enaknya ngambil fotonya jadi nge-blur. |
Tadinya aku meminta pulang ke Jakarta setelah maghrib. Namun Tante Bayu terus melarangku pulang saat itu. Di Puncak masih macet, daripada cape-cape bermacet ria, lebih baik nginep disini, pulangnya besok pagi saja, katanya. Karena aku ada janji untuk jalan-jalan dengan temenku esoknya, maka Tante Bayu menyarankan pulangnya jam dua belas malam. Namun ku pikir daripada turun jam segitu dimana nantinya masih tak ada kendaraan dari Cibubur ke Cileungsi maka aku putuskan pulang jam tiga pagi. Awalnya Heru memintaku pulang pagi saja, setelah aku jelaskan kondisiku maka dia pun setuju untuk turun ke Jakarta di pagi buta.
Jam tiga pagi aku bangun kemudian aku bangunkan Niko dan Heru. Heru tampak malas membuka mata dan asyik dengan sleeping bag hangatnya. Namun diapun luluh juga. Setelah Niko berpamitan dengan Om Cepi (karena yang lainnya masih nyenyak tidur, dan tak mau mengganggu) akhirnya kami meluncur. Kami sempatkan pula menikmati kopi dan ubi bakar Cilembu yang hangat di salah satu kedai di kawasan Puncak. Menurut bapak penjual itu, macet baru terurai setelah pukul satu malam. Prediksi yang tidak melesat untuk kembali ke Jakarta dengan lancar, pikirku.
Special thanks to Niko, Heru, dan Rantip dari Akar Rumput Adventure (ARA), atas liburan gratisannya, menikmati tidur dalam tenda, belajar teknik fotografi dengan low speed, menyaksikan momen langka metamorfosis kupu-kupu, menikmati manisnya ubi bakar Cilembu, dapat diskon belanja, juga kepada teman-teman dari Yayasan Survival Indonesia (YSI), Dawai, Emon, dan Hendra, keluarga Om Cepi dan Om Ao, atas hidangan Nasi Bakar yang sangat spesial, dan sarannya sehingga terhindar dari macetnya jalanan Puncak, dan yang paling penting keakraban dari kawan-kawan ARA dan YSI.
*selengkapnya baca dipostingan sebelumnya ‘Pendakian Gunung Gede’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar