Sejak
menjejakan kaki di Pulau Kelor matahari sudah meninggi, tentunya berefek pada keluarnya peluh dari tubuh.
Namun antusias untuk menjelajahi rangkaian tiga pulau yang memiliki sejarah
kelam dari penjajah Belanda atas Batavia ini, terik bukan halangan yang
menyurutkan kami.
Pulau
Kelor, yang hanya seluas sekitar empat kali lapangan futsal ini merupakan pulau
yang diprediksi 20 tahun mendatang bakal hilang. Puing benteng di salah satu
sisi, terlindung oleh semak-semak dan pohon menjadi bukti bahwa dulu pulau ini
sebagai pertahanan. Garda depan untuk melindungi Batavia dari serangan musuh.
Spot
ini juga yang sekarang banyak digunakan untuk pemotretan preweding. Memang nggak
salah kalau spot ini sangat recommended buat foto (prewed), dengan latar belakang puing
bata merah menjadikan spot yang
‘indah’ untuk masuk ke dalam frame. So, bukan para pasangan saja yang mau
mengabadikan moment mereka disini,
ternyata kami tergiur juga. Fyuh..!!!
Tembok-tembok
lapuk, berlumut dan warna putih memudar, menjadi saksi bisu karantina jemaah
haji pada masa penjajahan Belanda. Ini merupakan bekas rumah sakit untuk para
jemaah haji satu-satunya di Pulau Cipir. Terlihat ruang-ruang kecil seperti
bekas kamar-kamar pasien.
Berbeda
lagi di Pulau Onrust, yang memiliki makam-makan bangsa Belanda. Yang terkenal
adalah seorang wanita bernama Maria Vande Velder. Bahkan hingga kini kuburan
itu sering jadi tempat ‘ngalap berkah’.
Tampak adanya bekas persembahan: lilin dan botol air mawar. Kurang kerjaan
banget!
Well,
cuma Pulau Cipir dan Onrust yang memiliki pepohonan yag rimbun, sehingga cukup
buat melindungi diri dari teriknya matahari. Namun siang itu cukup panas
sehingga hawa gerah tetap terasa. Peluh tetap nyucur.
Memang
sudah umum dan jamak jika ketiga pulau ini: Kelor, Cipir, dan Onrust menjadi
destinasi historical travel. Cocok
sekali buat edukasi mengenal sejarah Jakarta. Apalagi belajar sejarah sambil
berwisata menjadikannya nggak ngeboringin.
Agree!!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar