Sore itu kami sampai juga
di Kampung Cibeo, salah satu kampung
Suku Baduy Dalam. Kami melewati
beberapa rumah panggung khas Baduy. Aku duduk diteras rumah salah satu Suku
Baduy, dimana kami akan bermalam. Sapri, sang empunya rumah, dengan ramah
mempersilahkan kami memasuki rumahnya. Aku hanya menjawab masih ingin rebahan
sekedar melenturkan otot kaki yang pegal setelah perjalanan kurang lebih tiga
setengah jam, menempuh jarak 12 km, dengan tracking
start naik-turun bukit dari Ciboleger.
Gadis Baduy Luar. |
Kaki serasa ingin
bernapas, segera aku membuka sepatu gunung dan kaos kaki. Aku duduk santai
diteras depan rumah panggung, yang didominasi material bambu tanpa paku, hanya
menggunakan tali dan pasak yang kuat. Telapak dan jari kakiku memutih setelah
seharian ‘terbungkus’ oleh sepatu yang basah karena keringat plus air hujan ketika diperjalan tadi.
Hujan sempat mengguyur ketika tracking.
Kami sempat pula berteduh disalah satu saung orang Baduy Dalam.
“Bapak tinggal disini?”
tanyaku, saat kami berteduh disaung yang berdiri sendiri ditengah hutan, dari
guyuran hujan. Satu keluarga itu, yang terdiri suami, istri dan kedua putranya,
memang tidak tinggal di rumah panggung itu. Mereka mendirikan saung dan tinggal
sendiri di tengah hutan. Bukan mereka diasingkan atau sedang kena sangki adat,
seperti yang aku pikirkan, itu karena meraka sedang berladang. Biasanya dalam
bercocok tanam mereka akan menggarap dan merawat apa yang mereka tanam dan
menginap berhari-hari tinggal di saung sendiri jauh dari penduduk lainnya,
hingga selesai panen.
Salah satu Kampung Baduy, dilihat dari atas bukit. |
Danau Ageung. |
Perkampungan Baduy Luar yang berbatasan dengan Baduy Dalam. |
Area tracking yang naik-turun bukit, sehingga tak membosankan. Ditemani
dengan pemadangan luas dan ladang-ladang Suku Baduy. Sesekali pula kami sempat
bertemu dengan Suku Baduy yang sedang menggarap ladangnya.
Aku masuk ke rumah Sapri.
Gani yang sudah lima kali berkunjung ke Baduy Dalam, dan ini adalah kunjungan
keenamnya, mempersilahkan kami. Sementara itu Niki dkk, teman satu tim kami, belum
juga sampai. Sapri, empunya rumah, menyuguhkan minuman kepada kami, dia
menuangkan air putih hangat asli dari sungai di sekitar Kampung Cibeo kedalam
mangkuk berwarna putih kecil, persis mangkuk wedang sekoteng. Selain itu dia
menyuguhkan gula kelapa buatan mereka sendiri, yang diletakan di dalam toples yang
terbuat dari polietilen. Juga ada asam
kanji, seukuran kancing, berwarna hitam. Aku mencicipi air hangat yang
disuguhkannya. Sementara yang lain menuangkan gula kelapa kedalam mangkuk
tersebut. Aku sengaja tak mencelupkan gula tersebut kedalam minuman, hanya
untuk mecicipi rasa air sungai alami rebusan orang Baduy. Rasanya tentu saja
berbeda jauh dengan air mineral, ada sensasi sangit dan ‘aroma’ kayu bakar (tungku pembakaran). Very traditional.
Niki dkk datang. Mereka
bergabung dengan kami. Menikmati sambutan dan suguhan hangat ala Baduy Dalam.
Setelah mandi ala Baduy
di sungai dekat Kampung Cibeo (sebagai catatan, Baduy Dalam tidak memiliki
sumur, mereka memanfaatkan sungai untuk keperluan hidup sehari-hari: minum,
mencuci, dan mandi) kami bergegas menuju ke rumah Sapri. Seperti apa yang
dikatakan orang Baduy, kami tidak boleh menggunakan sabun, sampo, dan pasta
gigi saat mandi, baik di sungai atau pun di pancuran. Bagaimana badan ini bisa bersih kalau begini? pikirku. Aku
memperhatikan salah satu lelaki Baduy yang sedang mandi (tentu saja mereka
mandi tidak telanjang bulat). Mereka membersihkan badan dengan sabut kelapa,
dan sesekali dengan batu kali. Maka aku pun membersihkan badanku dengan batu
kali. Dingin menyergap ketika masuk kedalam air sungai. Berendam dengan
dinginnya sungai sore hari setelah hujan dengan kaos yang basah diperjalanan
tadi.
Malam datang, gelap mulai
menutupi. Sang empunya rumah dan anaknya sibuk di ‘dapur’ menyiapkan makan
malam. Aku perhatikan bukan kaum Hawa yang memasak, namun sebaliknya. Sementara
istri Sapri sibuk dibalik bilik, ruang lainnya, dengan anak kecilnya yang baru
berumur kira-kira satu tahun. “Ya kami (pria) memang harus bisa memasak. Dari
kecil kami sudah diajari memasak. Laki-laki dan perempuan harus bisa memasak”
jelasnya, ketika aku ‘menyelidiki’ apa yang menjadi pertanyaan dipikiranku. Aku
mendekat ke Sapri yang sibuk di dekat tunggu, menanak nasi dan menggoreng nugget yang Gani bawa untuk makan malam
kami bersama. Tungku itu beralaskan tanah liat, karena ini adalah rumah
panggung yang didominasi bambu. Api yang menyala benar-benar dijaga, selain
faktor keselamatan dari kebakaran tadi juga karena memasak benar-benar dengan panas
pas supaya masakan tidak gosong dengan kematangan tertentu.
“Jika satu rumah
kebakaran, sekampung bisa kebakaran” katanya, menjelaskan pengalamannya
beberapa waktu yang lalu. Karena rumah panggung Baduy yang terbuat dari
material yang mudah terbakar dan jarak antar rumah yang hanya berjarak sekitar
satu meter. Rumah panggung Baduy Dalam memang semuanya terbuat dari bahan alam.
Pondasi batu, tiang kayu penyangga dipasang tegak kokoh diatas batu. Lantai
rumah dari bambu yang dibelah, dan ‘disayat-sayat’ (talupuh). Bilik rumah dari anyaman bambu, dan atapnya dari daun
kirey, sejenis pohon palem.
Kampung Cibeo, memiliki
rumah pangung sekitar 98 rumah. Satu rumah bisa terdiri dari dua keluarga,
suami istri, dan anak juga menantu. Jadi satu rumah bisa diisi lebih dari enam
orang. Mereka dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut Pu’un. Pu’un sendiri dibantu oleh Jaroo (wakil Pu’un) dan sembilan Baresa. “Baresa itu kayak menteri” Sapri menjelaskan kepada kami
dengan memberi perumpamaan. Pu’un sendiri tidak harus orang yang ‘berumur’.
Bahkan umurnya bisa masih muda (Sapri tidak menjelaskan rentang umur berapa
yang disebut masih muda tersebut, namun dia menyebutkan Pu’un yang sekarang
berumur dibawah umurnya yang menginjak 50-an tahun). Pu’un memang harus
dipegang oleh orang yang masih memiliki keturunan Pu’un, walau pun orang yang
tak memiliki keturunan Pu’un bisa diangkat menjadi Pu’un. Pu’un tinggal dirumah
yang khusus. Artian khusus bukan bentuk fisik bangunan yang berbeda namun
posisi atau letak rumah tersebut. Rumahnya dekat dengan pelataran yang
mengelilingi kampung. Halaman berumput kecil yang hijau. Jika akan mengunjungi
Pu’un maka harus meminta izin kepada Jaroo. Tak sembarangan orang mengunjungi
Pu’un begitu saja.
Sudah umum diketahui,
Suku Baduy Dalam memang memiliki tradisi yang sangat kontras dengan masyarakat
pada umumnya. Banyak aturan yang tak umum, seperti tidak boleh naik kendaraan
(kereta, mobil, motor, becak, sepeda, kereta, pesawat, dan perahu), tidak boleh
memakai sandal dan alas kaki lainnya, tidak boleh makan daging kambing, tidak
boleh menonto televisi atau mendengaarkan radio. Berpakaian sama, hitam atau
putih (tidak ada pakaian yang berwarna-warni), dan kain samping sebagai
‘celana’, memakai ikat kepala berwarna putih. Tapi untuk soal makanan selain
daging kambing mereka tak ada pantangan apapun, bahkan makanan olahan dari
pabrik modern sekalipun.
Senyum Baduy Dalam. |
Jika sakit, mereka
memiliki obat alami sendiri. Batuk misalnya, mereka akan mengambil air yang ada
diantara buku-buku bambu muda. Jika demam atau panas, maka akan diberikan
rebusan daun rambutan dan pucuk daun salak.
Sebagian besar mereka
bercocok tanam. Padi (padi gunung), rambutan, jahe merah, durian,
kacang-kacangan, kopi, cengkeh, dan asam kanji adalah contoh hasil bercocok
tanam. Hasil alam lainnya seperti madu dari bunga durian dan gula kelapa. Untuk
sumber hewani biasanya dari daging ayam yang mereka pelihara sendiri, bahkan
kadang berburu kancil. Untuk ikan mereka membeli sendiri di Ciboleger. Untuk
durian dan madu biasanya mereka jual keluar Baduy, di sekitar Ciboleger. Kadang
untuk madu mereka jual kepada para pengunjung.
Menjemur cengkeh, Baduy Luar. |
Lumbung padi, Kampung Gajeboh, Baduy Luar. |
Mereka juga memiliki hari
besar, Kawalu namanya. Biasanya
mereka rayakan dengan berkumpul di pelataran dekat kediaman Pu’un. Berkumpul
dan makan bersama, dengan makanan yang mereka bawa masing-masing dari rumah.
Ditemani cahaya temaram
sumbu kain yang menyala di mangkuk kecil dengan bahan bakar minyak kelapa kami
makan malam bersama. Lesehan melingkari hidangan yang tersedia. Nasi yang
ditanak secara tradisional, nugget
goreng, ikan asin, dan mie rebus. Dengan ramahnya mereka mempersilahkan kami
mengambil suguhan yang telah dihidangkan. Satu per satu dari kami mengambilnya.
Mereka tak akan mengambil makanan sebelum semua tamu mengambilnya. Sungguh
jamuan yang sangat spesial bagiku. Soal rasa memang sedikit hambar, tapi aku
memaklumi, kehidupan yang jauh dari laut (sulit mendapatkan garam), telah
mempengaruhi cita rasa kuliner mereka.
Setelah makan malam kami
santai sejenak diteras rumah. Bercengkrama dengan teman yang lainnya. Malam itu
sungguh gelap, berbeda dengan kehidupan kota yang hingar-bingar. Bahkan untuk
melihat ‘tembok’ rumah tetangga saja yang jaraknya sekitar satu meter dihadapan
kami, kami kesulitan melihatnya jika tak ada secercah cahaya sedikit pun. Yang
ada hanya hitam.
Tak lama kemudian aku
menuju ke dalam rumah. Sejak sore tuan rumah telah menyiapkan bantal yang kumal
untuk tidur. Beralaskan tikar daun pandan, dengan jaket tebal, aku memposisikan
diri untuk beristirahat, bermalam dengan tenang, jauh dari kehidupan modern.
Gelap. Semakin lama semakin gelap, aku terhanyut kedalam dunia lain. Di Kampung
Cibeo, di tengah hutan, jauh dari peradaban modern.
Kerajinan Baduy Luar dan madu Baduy Dalam. |
Dua generasi Baduy Luar. |