Di sekitar kanan-kiri jalan menuju ke Pantai Ujung Genteng, pasti akan melewati kebun kelapa. Jika kita jeli, ternyata pohon kelapa itu tidak berbuah. Di atas, diantara pelepah daun kelapa sudah bergelantungan jerigen yang diikat untuk menampung nira dari bunga kelapa. Di antara pohon-pohon kelapa dan semak-semak terlihat gubuk, tempat mengolah nira kelapa menjadi gula merah.
Pagi itu sebelum sampai di Pantai Ujung Genteng, kami menyempatkan berkunjung ke salah satu gubuk. Kami memilih gubuk yang ada kepulan asapnya. Jika ada kepulan asap, maka ada orang yang sedang mengolah nira.
Kami bertemu dengan dua orang pekerja di gubuk itu. Sepertinya mereka suami istri. Sang suami yang mengumpulkan nira kelapa. Memanjat beberapa pohon dan kembali ke gubuk, menyerahkan hasilnya kepada sang istri untuk diolah menjadi gula merah.
Gubuk beratapkan alang-alang. Di depan sudah tersusun rapih kayu bakar untuk memasak nira. Masuk kedalam, tampak sang perempuan paruh baya sedang memasak nira.
Nira dimasak sekitar 12 jam. Jika pagi ini dimasak maka akan menjadi gula merah sore atau malam kemudian. Dan api harus dijaga tetap menyala. Nira dimasak dalam wajan yang besar. Ditengah telah dipasang anyaman bambu melingkar supaya jika nantinya berbuih sewaktu dimasak maka tidak akan meluap keluar wajan, melainkan masih tertampung di wajan.
Membawa nira. |
Baru selesai mengambil nira. |
Memasak nira dengan tungku tradisional. |
Yeni dan Erik santai di depan gubuk pengolahan nira. |
Niatnya, Erik akan membeli gula merah hasil olahan mereka sebagai oleh-oleh. Dan Lazuardi ‘Brewok’ ingin mencicipi air nira. Namun sayang seribu sayang, air nira sudah dimasukan kedalam wajan semua, dan tentunya gula merah juga belum jadi. Akhirnya mereka memesan untuk diambil besok.
Sepertinya gula merah ini memang bisa dijadikan oleh-oleh khas Ujung Genteng. Namun sayang tak tampak satu pun saung di pinggir jalan yang menjual gula merah ini. Mereka malah menjualnya kepada tengkulak dengan dibanderol harga yang minim.
Keesokan harinya saat pulang, kami mampir ke gubuk kemarin. Namun rupanya kami sedang tidak beruntung. Ibu sang pengolah nira, telah mengirim gula merah tersebut ke Sukabumi. Hanya tinggal sang suami yang baru akan memulai menyadap nira. Dapur pengolahan juga tak berasap dan tak ada aktifitas pengolah nira.
Dari Amandaratu kami mampir ke gubuk pengolahan gula kelapa. Kami memang tak ngeh kalau disekitar Amandaratu bisa dapat gula merah langsung dari yang pembuatnya. Kami baru tahu bahwa kami bisa mendapatkan gula merah, saat kami melihat serombongan pengunjung yang baru saja membawa gula merah. Meninggalkan salah satu gubuk. Setelah rombongan tersebut meninggalkan gubuk, kami menghampiri gubuk tersebut.
Tampak ibu-ibu berperawakan gemuk dengan menggendong anaknya di dalam dapur gubuk tersebut. Awalnya Ibu tersebut sepertinya enggan menjawab bahwa ada gula merah. Beliau menjawab bahwa harga per kilonya (kg) malal. Namun Erik mendesak dan akan membelinya. Tak lama kemudian Ibu tersebut menunjukan gula merah tersebut. Ukurannya super jumbo. Satu kilogram dengan ukuran sekaleng susu mungkin.
Air nira yang dimasak mulai berbuih. |
Ellin sedang membuat ramuan anti-galau. |
Gula kelapa/merah. |
Sibuk mengolah nira. |
Menikmati kebersamaan dengan anak-anak. |
Erik memesan gula merah tersebut. Nira yang diidam-idamkan Lazuardi juga ada. Dia membeli satu botol ukuran air mineral penuh. Kami pun mencoba mencicipi rasa nira kelapa tersebut.
Tungku dengan wajan berisi nira sedang dimasak. Buih air nira yang dipanaskan muncul, meluap ke bawah anyaman bambu, namun tetap masih tertampung di wajan. Masih menunggu beberapa waktu lagi hingga siap menjadi gula merah.
Akhirnya apa yang diharapkan Erik dan Lazuardi terwujud sudah. Dapat gula merah sebagai oleh-oleh, mendapatkan langsung dari pembuatnya. Kami bisa mencicipi rasa nira yang manis-manis gimana gitu..!! Dan melihat langsung pengolahan nira menjadi gula kelapa walaupun tidak seluruhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar