6.12.11

Escape To Kepulauan Seribu: Day 1

Cukup lama juga menunggu adanya liburan murah ke Kepulauan Seribu di utara Jakarta ini. Selama ini hanya mengagumi keindahan pantai dan karangnya dari blog. Melihat penangkaran penyu sisik, elang, dan hiu. Bisa berjumpa dengan ‘Nemo’ si ikan badut saat ber-snorkeling di soft coral, dan camping dipulau yang jauh dari peradaban. Beruntungnya semuanya berjalan lancar dan cuaca yang bersahabat walaupun memasuki musim hujan.

















Di Dalam Lambung Lumba-lumba

Sekitar subuh Sabtu pagi aku, Niko, Hikmah dan Dahlia berkumpul di Toko Akar Rumput Adventur (ARA), Ragunan. Menurut keterangan dari Niko, kami akan dijemput oleh Berry, temannya Niko, dengan mobil pagi ini.

Akhirnya mobil Berry yang kami tunggu datang juga. Mobil Avanza berwarna silver meliuk parkir di halaman ARA. Kami berempat segera bergegas membawa ransel kami ke mobil tersebut. Didalam mobil sudah ada Berry, Dan, dan Vanessa, plus satu sopir yang mengantar kami. Tentu saja kami harus mengatur posisi kami dalam mobil karena jumlah kami yang mendekati kapasitas maksimal mobil plus ransel kami yang besar-besar. Jadilah kami seperti ikan sarden dalam kaleng.

Tiba di tempat yang telah dijanjikan sebagai meeting point kami, Pom Bensi Muara Angke. Kami meletakan ransel kami di depan ATM Mandiri dan BNI. Tak lama kemudian Ambar datang. Dialah sang penggagas trip ini. Kemudian tiga orang dari Purwokerto yakni Ale, Hening dan Fira datang. Mereka memang sudah datang di Stasiun Senen sekitar pukul 3:30-an pagi dan langsung menuju ke meeting point.

Meeting point di Pom Bensin Muara Angke

Suasana di KM. Dolphin































Setelah sarapan menu bubur ayam yang kami beli di sekitar Pom Bensin, kami menuju dermaga di belakang Pom Bensin tersebut. Tiket sudah dibelikan oleh Ambar. Kami tinggal naik kapal dan duduk manis di dalam kapal. Untunglah kapal yang bernama KM. Dolphin ini tidak terlalu sesak. Kami duduk di dekat bagian belakang kapal.

Awalnya aku coba tetap terjaga alias tak tidur di dalam kapal. Inginnya sambil menikmati pemandangan laut yang luas tanpa batas. Namun rupanya jalannya kapal yang penuh dengan ‘goyangan’ dan goncangan akibat gelombang air laut membuat perut ini mual. Dan  jadinya aku pun mabok juga. Aku liat penumpang yang lain memejamkan mata. Ternyata trik ini cukup ampuh supaya kita tak mabok saat perjalanan, yang memakan waktu kurang lebih tiga jam menuju Pulau Pramuka.

Bertemu Nemo

Tiba di Pulau Pramuka, yang merupakan sebagai transit kami untuk menuju ke destinasi pulau yang akan kami singgahi. Di pulau ini kami sudah disambut oleh seorang ibu yang menawarkan menu makan siang. Sebernarnya bukan orang ini yang kami tunggu, melainkan Sarwan yang empunya perahu motor yang sudah kami pesan hari sebelumnya. Kami menuju warung makan si ibu, yang jaraknya cukup jauh dari dermaga. Jadinya kita bisa keliling sedikit menikmati Pulau Pramuka. Sementara itu ransel kami dititipkan di perahu motor tersebut.

Lokasi warung si ibu terletak di pinggir pantai bagian belakang pulau. Menikmati menu makan siang yang sederhana ditemani dengan hembusan angin pantai memang sensasi yang jarang aku temui. Nasi putih, tumis kangkung, menu ikan, juga tempe goreng plus sambal membuat kami kenyang.

Setelah urusan perut selesai kami menuju ke panangkaran penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Tempatnya memang tak terlalu besar. Namun banyak penyu dipenangkaran itu. Selain penyu kecil atau disebut tukik, juga ada penyu yang berukuran besar namun kondisi tubuhnya sudah tidak normal lagi alias cacat. Ada yang tak memiliki kaki/sirip depan, juga ada bagian pungkuknya yang bengkok. Dan katanya penyu ini tak akan dilepaskan ke laut lepas karena dikhawatirkan tak akan bisa survive di laut bebas.

Makan siang di Pulau Pramuka

Pose dengan penyu sisik

Tukik












































Setelah berganti kostum yang sesuai atau mendekati sesuai  untuk snorkeling kami langsung meluncur ke Pulau Air dengan perahu sewaan itu. Pak Abu dengan perawakannya yang jangkung dan besar dengan kulit yang ‘gosong’ terbakar sinar matahari khas orang pantai, yang bertugas mengendalikan mesin yang akan mengarahkan kami meluncur kemana sesuai keinginan kami, sedangkan yang satunya lagi (lupa namanya), bapak yang usianya sekitar 50-an tahun, bertugas menjaga perahu.

Perahu berjalan dengan tenang. Cuaca siang itu redup karena awan mendung menyelimuti langit. Mendekati karang disekitar Pulau Air tampak berupa terusan yang membelah pulau itu. Hal ini tampak dari tak ada karang satupun dibawah di terusan itu, dan juga adanya bentuk bibir pantai yang tak alami.

Tibalah kami di spot snorkeling sekitar Pulau Air. Tampak juga banyak perahu yang menurunkan para penikmat snorkeling turun dari perahu, seperti adegan saat penyelamatan penumpang kapal yang mau karam, oleh sekoci kecil, dan orang-orang yang mengapung dipermukaan air.

Pak Tua itu menurunkan jangkar sederhana kedasar laut. Sedangkan Pak Abu mebagikan peralatan snorkeling, sperti kaki katak, lifevest, dan alat pernapasan. Kemudian dia langsung menceburkan diri ke laut tanpa lifevest dan kaki katak. Setelah semua peralatan snorkeling aku pakai ini saatnya masuk kedalam air laut. Awalnya memang ragu-ragu masuk kedalam air, karena aku tidak bisa berenang. Bagaimana ini harus memulainya, pikirku. Tapi aku pikir lagi, masa aku harus membatalkan snorkeling karena ketakutan ini, dan padahal ini merupakan pengalaman pertama ber-snorkeling (kapan lagi?), juga rasanya rugi sudah jauh-jauh ke Kepulauan Seribu kalau tidak ber-snorkeling. Melihat semuanya masuk satu per satu kedalam air akhirnya aku menceburkan diri juga. Dengan lifevest yang dipakai akhirnya bisa mengapung juga. Apa yang tadi diragukan akhirnya sirna juga. Awalnya memang sulit bernapas dengan mulut, namun lama kelamaan bisa berdaptasi juga.

Subhanallah. Begitu indahnya coral itu. Dengan ikan-ikan kecil yang hilir mudik diantara karang-karang yang begitu harmonis membentuk komunitas di dalam laut. Sungguh tak bisa dilukiskan dengan kata-kata atas kenindahan karang itu. Namun sayang dibalik keindahan itu tampak juga karang ynag rusak. Hal itu tampak dari dari beberapa karang yang tampak runtuh.
Pak Abu mengantarkan kami ke spot snokeling yang lain. Kali ini ke soft coral, letaknya tak jauh dari Pulau Panggang. Di spot ini atas saran Pak Abu kami bisa memberi makan ikan-ikan dengan biskuit atau roti sehingga ikan-ikan kecil akan mendekati kami. Betul saja. Ikan-ikan mendekati kami saat kami meremah biskuit. Aku sengannja membawa dua biskuit yang aku simpan dikantung celanaku. Setelaah ku buka biskuit itu didalam air, ikan-ikan datang dan menikmati makan siang yang aku berika. Amazing.

Tak lama kemudian Pak Abu membawa kami salah satu binatang laut, yakni bintang laut yang bentunya mendekati bulat itu, namanya aku lupa. Kemudian dia juga menunjukan bulu babi yang banyak durinya itu, dan sangat aku hindari mendekati apalagi memegangnya, namun Pak Abu dengan pede-nya memegang hewan berduri itu tanpa rasa sakit karena tertusuk.

Rupanya kelamaan di dalam air membuat badan ini mulai kedinginan. Aku langsung menuju ke atas perahu. Tak lama di atas perahu Pak Abu menunjukan kepada kami bintang laut cantik berwarna biru. Juga dia menunjukan ikan yang memiliki warna putih dan orange yang terang dengan garis hitam, Nemo, alias ikan badut. Hasrat ingin menikmati keindahan keindahan warnanya kami memasukan ikan tersebut kedalam botol yang telah diisi air laut. Satu per satu dari kami menikmati keindahan si Nemo itu, dan melepaskannya kembali ke laut lepas.

Menuju ke Pulau Air

Saatnya snorkeling

Dapat kesempatan langka bisa memegang bintang laut

Finally I find(ing) Nemo

Belanja ikan untuk makan malam









































































Hari menjelang sore, saatnya kami harus mempersiapkan tenda untuk tidur nanti malam. Tujuan camping kami adalah Pulau Semak Daun (dalam bahasa Inggrisnya sering diplesetkan menjadi Smack Down Island). Sebelum menuju ke pulau tujuan utama kami itu kami mampir dahulu di Pulau Panggang, untuk membeli ikan sebagai menu utama makan malam.

Sampai di Pulau Semak Daun kami menuju spot camping. Setelah kami meminta izin kepada penjaga pulau itu untuk berkemah, Pak Abu meninggalkan kami di pulau yanag tak memiliki listrik ini. Dulunya pulau ini tak berpenghuni, namun belakangan dari cerita yang aku dengan pulau ini sudah menjadi pulau pribadi namun masyarakat masih bisa menikmati pulau itu. Beberapa tahun kedepan tampaknya pulau ini akan mengikuti peradaban. Hal ini tampak adanya buldoser disalah satu sisi pantai dalam rangka pengerjaan kabel untuk menyalurkan listrik ke pulau tersebut.

Malam menjelang yang tampaknya keinginan untuk menikmati sunset tidak bakal terwujud karena langit mendung seharian. Dan hal yang menjengkelkan lainya adalah tidak ada air tawar yang dapat kami gunakan untuk membilas air laut dari kegiatan snorkeling tadi siang. Akhirnya aku tak mandi sama sekali.

Pulau Semak Daun

Camping di pantai Pulau Semak Daun


Makan malam

Bulb technich
































Setelah makan malam dengan ikan bakar dan sup baso sosis yang sayur dan basonya dipisah sehingga sayur supnya bersisa dan baso-sosinya habis ludes, kami menikmati cahaya lampu pulau yang lain. Tampak didepan kami cahaya sedikit terang diawan yang aku pikir itu adalah cahaya dari gemerlapnya cahaya kota Jakarta yang dipantulkan di awan. Aku dan Niko mulai beraksi dengan kamera kami membidik secercah cahaya itu dan juga mencoba membuat huruf dengan lampu senter dengan teknik bulb.

Tidak ada komentar: