Sebenarnya aku males banget buat acara caving alias susur goa. Perasaannya tuh nyesek alias susah menghirup udara
dengan keadaan didalam tanah yang gelap,
dan mungkin sempit. Apalagi pas lihat
pintu masuk Goa Lalay yang cuma setinggi satu setengah hingga dua meter, plus
ada aliran air, bikin makin ragu buat
caving. Tapi demi harga diri daripada
dibilang cemen, ya sudah mau gimana lagi, ikut aja yang lain.
Goa Lalay, memang salah
satu destinasi non-pantai di Sawarna. Letaknya memang di antara perkebunan dan
sawah warga. Disekitarnya suasananya sejuk saking banyaknya pohon, dan adem
memandang padi yang hijau.
Satu per satu teman-teman
mulai masuk ke goa. Kami harus masuk lewat pintu masuk yang sekaligus ‘pintu
keluar’ aliran air. Padahal pintu masuk yang tak ada airnya juga ada, tapi lagi
becek dan licin. Kami harus memaksimalkan penggunaan kaki. Maksudnya selain
digunakan buat napak, juga sebagai
indera peraba. Soalnya ‘lantai’ goa yang kami jelajah dialiri air, jadi tak
kasat mata. Selain itu, memungkinkan supaya tak terpeleset karena lumpurnya
licin atau tergelincir oleh batu. Jadi sandal atau sepatu tak akan membawa banyak
manfaat buat caving.
Di dalam goa, kami mesti
benar-benar membuka retina mata kami lebar-lebar, karena gelap dan hanya
membawa dua lampu senter (sebenarnya itu juga sudah cukup). Untuk yang membawa
barang elektronik semacam handphone
atau kamera mesti ekstra hati-hati. Selain juga memperhatikan jejakan kaki
supaya nggak kepleset terus kecebur air, juga mesti hati-hati supaya tidak kena
air tetesan dari langit-langit goa.
Denger-denger
biasanya di langit-langit goa banyak sekali kelelawar. Karena itulah disebut
goa Lalay (kelelawar). Namun saat itu kami tak melihat makhluk mamalia yang bisa
terbang itu. Mungkin sudah mulai terganggu karena kehadiran para wisatawan. Biasanya
saat petang banyak kelelawar yang terbang disana.
Soal formasi dan bentuk batu,
bentuk juga oke-oke banget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar