Hari ini adalah hari terakhir aku di Jogja. Pagi-pagi sudah sampai di Terminal Giwangan untuk kembali lagi ke Jakarta. Kenapa tidak naik kereta atau pesawat? Aduh booo.... ini pas musim liburan, tiket pesawat sudah mahal, dan tiket kereta ga kebagian, ya sudah naik bus saja. Rupanya bus yang ke Jakarta tidak ada bus pagi, alias semua bus yang akan menuju Ibu Kota adalah bus malam, dan berangkat dari terminal sore hari. Tiket bus sudah aku pegang. Masalah selanjutnya adalah bagaimana membunuh waktu sambil menunggu bus dari pagi hingga sore. Pikiranku langsung ke Keraton, lokasi yang belum sempat aku kunjungi. Atas arahan dari seorang agen bus, aku meluncur ke Alun-alun Jogja dengan bus Jalur 15.
|
Lambang Keraton Yogyakarta |
Turun di Jl. Koni, aku langsung menuju ke kompleks Keraton. Alun-alun Utara Jogja kali ini penuh dengan tenda besar oleh para pedagang yang sedang menyelenggarakan pasar malam. Jadi suasana khas alun-alun ini tertutupi oleh tenda-tenda pedagang. Banyak tukang becak yang menawarakan jasanya untuk mengantar ke lokasi wisata di sekitar alun-alun seperti Kompleks Keraton, Taman Sari, Pusat Oleh-oleh Bakpia, dan lain-lain. Namun semua aku tolak, karena aku ingin benar-benar merasakan kota Jogja, dan mengabadikan tempat yang aku kunjungi dengan kameraku. Sempat pula seorang tukang becak menawariku berkeliling, aku sempat menolaknya, namun dia tak kecewa. Malah kami sempat ngobrol ngalor-ngidul dengannya tentang Jogja.
“Bapak asli Jogja?” tanyaku.
“Iya. Saya asli sini mas”
“Sudah berapa lama Bapak mengayuh becak?”
“Sudah 10 tahun mas”
Tak berapa lama kemudian aku teringat kejadian Gunung Merapi yang memuntahkan lava panas beberapa waktu lalu, dan diiringi hujan abu (wedus gembel) yang dampaknya mengganggu kegiatan kemasyarakatan dan ekonomi warga Jogja
.
“Kalau ada apa-apa dengan Gunung Merapi, Sultan (Sri Sultan Hamengku Buwono X) pasti tahu duluan. Beliau yang akan memberi instruksi ke kami (warga) harus bagaimana (mengevakuasi atau tidak)” jawabnya. “Bahkan kadang kami diharuskan berkumpul disuatu tempat untuk berdoa bersama memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya diberi keselamatan”
Jadi teringat saudara aku yang tinggal di Kaliurang. Ketika wedus gembel keluar, seluruh warga tenang dirumahnya masing-masing. Mereka menunggu instruksi dari Sultan (bukan dari badan yang berwenang menetapkan status gunung) apakah harus evakuasi atau tidak. Yang agak sedikit bersifat mistis (mungkin ini tradisi) adalah membuat geger boyo. Setiap rumah akan membuat geger boyo dengan membuat kupat dari janur kuning tanpa diisi beras, dan dimasukan kedalam minuman kopi. Pecaya atau tidak, kebetulan saja seperti kejadian kemarin, abu vulkanik Gunung Merapi tidak mengarah ke selatan (Jogja) melainkan ke arah barat dan timur.
Bicara soal Sultan, jadi teringat kejadian beberapa waktu lalu. Ketika Pemerintah (baca: Presiden) yang tak menginginkan sistem monarkhi (kerajaan) ada di Indonesia yang notabene menganut sistem demokrasi. Aku coba mencari tanggapan dari warga Jogja langsung.
“Kami lebih percaya Sultan (Raja). Karena sudah tradisi Sultan-lah yang sanggup memimpin Jogja. Kami tak ingin dipimpin oleh pemimpin yang bukan orang Jogja. Kalau Jogja memakai sistem demokrasi kami khawatir Jogja dipimpin oleh pemimpin yang tak bertanggung jawab, tak bisa menjaga tradisi Jogja” jawabnya. Well... apapun sistem pemerintahannya, itu tak masalah bagi rakyat. Yang mereka inginkan adalah adanya rasa aman dan nyaman, ada kepastian dan diayomi oleh pemimpinnya.
Bahkan ketika Sultan menyelenggarakan pernikahan putri keempatnya beberapa waktu lalu yang megah dan disebut-sebut sebagai the royal wedding-nya Indonesia, tak ada demonstrasi sana-sini tentang mewahnya pernihakan tersebut. Malah rakyat Jogja bangga, karena itu merupakan pestanya rakyat.
Kembali ke perjalananku, setelah bercakap-cakap dengan tukang becak itu, aku langsung menuju ke Keraton. Pertama aku mengunjungi kompleks keraton yang sebelah utara. Menurutku ini bukan keraton yang asli. Ini seperti kompleks keraton yang diperuntukan untuk memajang (semacam museum) barang-barang keraton. Ada patung-patung prosesi pernikahan ala keraton, replika meja untuk pengukuhan Sultan (naik tahta) dan pernah juga digunakan untuk melantik Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Selain itu ada berbagai lukisan kereta kencana kesultanan, juga beberapa lukisan Sultan-sultan Jogja sebelumnya.
|
Keraton Utara |
|
Patung-patung kesatria Kesultanan |
|
Pintu masuk ke Keraton Utara |
|
Replika prosesi kenaikan tahta Sultan |
|
Lukisan Sri Sultan Hamengku Buwono V |
|
Pengunjung menikmati lukisan kerena kencana |
Setelah puas di berkeliling kemudian aku keluar. Aku langkahkan kaki kearah barat dan memasuki sebuah jalan berbelok ke arah selatan. Rupanya ini adalah keraton yang sering digunakan Sultan, Kompleks Keraton Yogyakarta (Yogyakarta Palace Complex). Bangunan yang didirikan tahun 1755 ini adalah istana resmi, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Istimewanya Keraton ini adalah tepat ditengah-tengah diantara Gunung Merapi dan Pantai Selatan, 20 km dari Gunung Merapi dan 20 km dari Pantai Selatan. Begitu kiraa-kira yang aku dengar dari kegiatan menguping pemandu wisata yang sedang menjelaskan kepada salah satu rombongan tour.
Megah, mewah, penuh tradisi dan bernilai seni tinggi, itulah kira-kira ungkapan yang cocok untuk istana tersebut. Di dalam keraton juga ada pertunjukan musik tradisional jawa (Jogja). Dan juga para abdi dalem yang sedang melaksanakan tugasnya.
|
Plataran Keraton |
|
Pagelaran musik gamelan |
|
Salah satu teras Keraton |
|
Keraton, Kediaman Sultan |
|
Para Abdi Dalem Keraton |
|
Di dalam Kompleks Keraton Yogyakarta |
|
Bangunan yang masih dalam Kompleks Keraton |
|
Replika Kereta Kencana |
|
Bangunan di dalam Komplek Keraton |
|
Wisatawan mancanegara melintasi Keraton Utama |
|
Istana yang lainnya |
|
Bangunan yang berisi koleksi lukisan |
|
Lukisan keluarga kerajaan |
|
Di dalam Kompleks Keraton |
|
Pintu utama pemisah Keraton Utara dan Keraton Nyayogyakarta Hadiningrat |
Hari sudah siang, matahari sudah berada diatas kepala. Dan adzan sholat dzuhur berkumandang. Aku langkahkan kaki menuju ke Masjid Gedhe Kauman atau Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta, tepat berada di sebelah barat Alun-alun Utara. Masjid dengan arsitektur yang dipengaruhi budaya dan seni jawa ini sungguh megah. Arsitektur jawa terlihat dari tak adanya kubah masjid dan hanya bentuk limas khas rumah adat jawa. Masjid yang memiliki sejarah ini didirikan pada 29 Mei 1773. Masjid dengan julukan Masjid Kagungan Dalem Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat (The Grand Mosque of the Royal Palace of Yogyakarta) ini ditetapkan sebagai monumen cagar budaya pada 1931.
|
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta |
|
Teras Masjid |
|
Suasana di dalam Masjid |
Selesai sholat dzuhur saatnya harus kembali ke Terminal Giwangan, menanti bus yang akan mengantarkanku ke Jakarta. Untuk menggambarkan betapa berkesannya Jogja, aku jadi teringat salah satu lirik lagu “Yogyakarta” yang dinyanyikan oleh Katon Bagaskara.
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja