Musim hujan telah tiba.
Saatnya main air! Makanya pas ada tawaran buat rafting di Citatih tak pake
lama langsung acc alias setuju!
Walaupun beberapa daerah lainnya telah dilanda banjir *ikut prihatin* tapi
bagiku ini adalah kesempatan buat memompa adrenalin. Sudah hampir satu tahun tak menjajal
petualangan ini.
Aku dan Yanthi serta
teman-teman dalam satu rombongan datang ke Cherokee sudah siang, matahari juga
sudah mulai diatas kepala. Bukan masalah peserta yang ngaret dari ittinery yang
sudah dibuat, tapi memang ada kemacetan antara Ciawi dan Cibadak karena aktifitas
pasar. Ketika sampai di Cherokee, kami harus bergegas. Ngantri ke toilet, sementara angkot menunggu kami lama yang akan
mengantarkan kami ke station,
Cherokee. Plus medan jalan yang aduhai, bikin
ajrut-ajrutan. Semuanya gudubrak-gudubruk
memakai perlengkapan rafting seperti
memakai life vest, helmet, dan
memilih dayungnya.
Air sungai Citatih
sekarang ini memang volumenya banyak, memang faktor musim (penghujan), terlihat
dari arus dan warnanya yang cokelat lumpur. Dan beruntungnya kami, cuaca hari
ini sungguh cerah, terbukti dengan langit yang berwarna biru berhias gumpalan
awan putih dan sinar matahari yang terang-benderang. Plus perkebunan dan sawah
yang hijau, seger ngeliatnya.
Kami sampai di tepi
sungai Citatih, Desa Sirnajaya. Di atasnya ada jembatan gantung yang terbuat
dari kayu. Under it is start point.
Kami dibagi tiga kelompok, kebetulan jumlah peserta ada 15 orang, jadi bagi
tiga sudah adil dan cukup satu perahu berisi lima orang, plus satu skipper.
Menurut Herman, skpipper kami, lintasan yang akan kami
tempuh sepanjang 9 km. Membutuhkan waktu sekitar dua jam. Dengan grade 3, big, noisy and complex with rock, current an turns dengan moderate danger, pilihan yang pas buat
kami dikasih grade ini, maklum masih
amatir.
Dari segi jeramnya memang
kurang menantang. Jeramnya tak ekstrim, hanya bergelombang besar. Deras, lalu
tenang, deras-tenang, deras-tenang, deras-tenang, begitu seterusnya hingga finish. Sepanjang mengarungi sungai,
kami melihat jejak-jejak banjir (tumpukan sampah kayu yang hanyut), kira-kira
setinggi dua meter diatas kami, juga banyak sekali warga yang memancing.
Katanya sungai itu banyak ikan lele-nya. Binatang reptil seperti biawak sempat
kami lihat, berukuran kira-kira sebesar lengan orang dewasa, berdiam di atas
batu cadas.
Akhirnya kami sampai di finish point, beberapa orang telah
menunggu. Mereka inilah orang lokal yang bekerja mengempeskan perahu dan akan
dibawa kembali ke station penyedia
jasa arung jeram. Penyedia jasa arung jeram memang memperkerjakan orang-orang
sekitar, untuk tenaga semacam angkot, jasa pengiriman peralatan rafting ke masing-masing station, massage service, dan skipper.
Hmm... simbiosis yang bagus.
Kami sudah ditunggu oleh
mobil bak terbuka. Kami diantar kembali ke station
Cherokee. Jalanan lumayan, ajrut-ajrutan
lagi.
Lelah, sudah pasti.
Kelapa muda dan menu makan siang ala buffet
sudah siap buat kami santap. Menu khas sunda: ikan emas goreng, ayam goreng,
karedok, goreng tempe dan bakwan jagung, plus yang bikin seger sayur asem dan ikan teri. Tak lupa sambal yang pedes dan lalapan mentah. Kombinasi menu
yang sempurna. Nikmat!
Perut sudah diisi dan badan
sudah bersih. Dan sialnya, ketika mau mandi, aku lupa bawa handuk, tapi
untungnya staff Cherokee meminjamkan
handuk biru. Nuhun kang! Ada spare waktu buat nyantai, aku manfaatin
buat main ke jembatan, start point
tadi buat narsis ria.
Hari sudah sore, saatnya
kami balik lagi ke Jakarta. Berjibaku kembali dengan kemacetan. One word to describe this experience,
PUAS!!!